Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Haris
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Abdul Haris adalah seorang yang berprofesi sebagai Bankir. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Mengambil Keuntungan di Balik Larangan Sampah Plastik

Kompas.com - 31/01/2024, 22:30 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Baru-baru ini seorang warganet melontarkan kritik pedas terhadap praktik toko roti yang menawarkan tas spunbond berbayar sebagai opsi pengganti tas plastik.

Unsur ketidakpuasan muncul karena kotak roti dari toko tersebut didesain dengan dimensi yang besar, membuatnya sulit untuk dibawa oleh pembeli.

Adanya desain roti yang besar itu, seakan memberi kesan bahwa toko roti itu mendorong pembeli untuk membeli tas/kantong yang memiliki ukuran sesuai dengan kotak roti itu.

Akibatnya, praktik ini dianggap warganet sebagai tindakan yang hanya menambah jumlah sampah di rumah.

Permasalahan Sampah Plastik di Indonesia

Kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, berjudul "National Plastic Waste Reduction Strategic Actions for Indonesia" mengungkapkan bahwa Indonesia, dengan lebih dari 250 juta penduduknya menduduki peringkat kedua sebagai penghasil polusi dunia, di bawah China.

Di Indonesia Lebih dari 3,2 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahun dan sekitar 1,29 juta ton di antaranya mencemari laut. Diperkirakan, sekitar 10 miliar tas plastik, setara dengan 85 ribu ton, menyebar di lingkungan setiap tahunnya. Bahkan empat sungai di Indonesia (Brantas, Solo, Serayu, dan Progo) masuk dalam 20 sungai terpolusi di dunia.

Meskipun pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai peraturan terkait pengelolaan sampah, implementasinya di daerah-daerah masih menghadapi kendala.

Banyak toko, terutama super market modern, terlihat memanfaatkan larangan tersebut dengan meminta pembeli membayar atau membeli tas plastik.

Walaupun beberapa aturan dianggap setengah hati, pemerintah terus berusaha melalui regulasi, seperti Peraturan Presiden No. 97 tahun 2017 dan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018.

Komersialisasi Larangan dan Perilaku Konsumen

Meskipun upaya larangan penggunaan tas plastik sudah diterapkan, banyak toko, terutama super market, masih menawarkan tas plastik dengan harga kepada konsumennya.

Larangan ini terkadang hanya menyebabkan pengurangan kenyamanan tanpa menanggulangi akar permasalahan. Malah, kerap ditemukan larangan penggunaan kantong plastik ini dimanfaatkan beberapa pihak untuk meraup keuntungan. Terdapat praktik, khususnya yang banyak ditemukan di supermarket, mereka akan otomatis memberikan tas belanja yang diklaim ramah lingkungan dan membebankan biaya untuk tas tersebut pada konsumen.

Meski biaya untuk tas belanja tersebut tidak seberapa, akan tetapi praktik semacam itu sungguh tidak bijak. Tentu hal ini menimbulkan ketidaksetujuan di kalangan konsumen.

Walaupun larangan penggunaan tas plastik merupakan solusi yang ideal, implementasinya di lapangan dihadapkan pada tantangan-tantangan lama yang belum juga diselesaikan.

Di beberapa toko atau pusat perbelanjaan yang masih menggunakan kantong plastik mengklaim plastik yang digunakan dapat terurai, namun informasi ini seringkali sulit dipahami oleh konsumen awam.

Jika memang plastik tersebut mudah terurai, berapa lama waktu yang diperlukan untuk hancur secara alami tanpa mencemari lingkungan?

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari 'Goceng'
Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari "Goceng"
Kata Netizen
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Kata Netizen
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Kata Netizen
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Kata Netizen
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Kata Netizen
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Kata Netizen
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Kata Netizen
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Kata Netizen
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Kata Netizen
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Kata Netizen
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Kata Netizen
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Kata Netizen
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Kata Netizen
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Kata Netizen
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau