Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Thrifting atau aktivitas membeli pakaian bekas impor sedang menjadi perbincangan hangat belakangan ini, setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengusulkan pelarangan bisnis pakaian bekas impor dikarenakan merupakan aktivitas illegal.
Tak hanya wacana, bahkan beberapa kali diberitakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah di berbagai daerah.
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga telah menegaskan bahwa pakaian bekas impor sangat merugikan industri dalam negeri.
Semula, tindakan tegas pemerintah dinilai hanya sementara, bersifat seremonial semata dan selanjutnya bakal menjamur lagi tren bisnis thrifting tersebut. Tetapi setidaknya dalam kurun tujuh bulan terakhir, pelaku usaha thrifting benar-benar tiarap.
Sebuah toko thrifting di dekat tempat tinggal saya bahkan sudah benar-benar tak pernah buka lagi sejak aksi bakar dilakukan oleh Mendag. Padahal semula toko tersebut sangat ramai dikunjungi dan penjualnya pun aktif melakukan live di media sosial untuk menjaring lebih banyak pembeli.
Thrifting adalah istilah kesekian kalinya yang saya kenal. Dulu zaman masih SMA saya mengenalnya dengan istilah "owolan" di daerah asal saya Temanggung. Kemudian mengenal lagi istilah "awul-awul" ketika saya sudah merantau di Yogyakarta.
Hingga saat merantau di Kendari, Sulawesi Tenggara, istilah yang umum dipakai di sana adalah barang "RB", yang konon berasal dari kata "rombeng".
Tingkat popularitas pakaian "RB" saat itu begitu luar biasa, karena minimnya pusat perbelajaan dan distro yang menyediakan fashion bersaing baik dari sisi kualitas dan harga.
Bagi penggemar thrifting, pakaian bekas impor dengan merk-merk ternama adalah solusi praktis untuk bisa tampil gaya dengan fashion original dengan harga yang terjangkau.
Terkadang bukan karena memaksakan diri untuk menjadi "branded" dalam hal berpakaian, tetapi karena keberadaan fashion lokal tak mampu bersaing dengan baik.
Kalau dibayangkan, bagi kalangan remaja atau anak muda yang lingkungannya kerap kali mementingkan gaya dibandingkan hal lain dan hanya memiliki budget pas-pasan, katakanlah sebesar 150 ribu rupiah, tentu budget segitu sangat terbatas untuk mendapatkan produk fashion lokal yang punya nilai “plus”.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.