Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Widi Kurniawan
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Widi Kurniawan adalah seorang yang berprofesi sebagai Human Resources. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Thrifting Dilarang, Bagaimana dengan Perdagangan Barang KW?

Kompas.com - 25/03/2023, 13:12 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

 

Thrifting atau aktivitas membeli pakaian bekas impor sedang menjadi perbincangan hangat belakangan ini, setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengusulkan pelarangan bisnis pakaian bekas impor dikarenakan merupakan aktivitas illegal.

Tak hanya wacana, bahkan beberapa kali diberitakan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah di berbagai daerah.

Sebelumnya, Presiden Jokowi juga telah menegaskan bahwa pakaian bekas impor sangat merugikan industri dalam negeri.

Semula, tindakan tegas pemerintah dinilai hanya sementara, bersifat seremonial semata dan selanjutnya bakal menjamur lagi tren bisnis thrifting tersebut. Tetapi setidaknya dalam kurun tujuh bulan terakhir, pelaku usaha thrifting benar-benar tiarap.

Sebuah toko thrifting di dekat tempat tinggal saya bahkan sudah benar-benar tak pernah buka lagi sejak aksi bakar dilakukan oleh Mendag. Padahal semula toko tersebut sangat ramai dikunjungi dan penjualnya pun aktif melakukan live di media sosial untuk menjaring lebih banyak pembeli.

Tampil "Branded" lewat Thrifting

Thrifting adalah istilah kesekian kalinya yang saya kenal. Dulu zaman masih SMA saya mengenalnya dengan istilah "owolan" di daerah asal saya Temanggung. Kemudian mengenal lagi istilah "awul-awul" ketika saya sudah merantau di Yogyakarta.

Hingga saat merantau di Kendari, Sulawesi Tenggara, istilah yang umum dipakai di sana adalah barang "RB", yang konon berasal dari kata "rombeng".

Tingkat popularitas pakaian "RB" saat itu begitu luar biasa, karena minimnya pusat perbelajaan dan distro yang menyediakan fashion bersaing baik dari sisi kualitas dan harga.

Bagi penggemar thrifting, pakaian bekas impor dengan merk-merk ternama adalah solusi praktis untuk bisa tampil gaya dengan fashion original dengan harga yang terjangkau.
Terkadang bukan karena memaksakan diri untuk menjadi "branded" dalam hal berpakaian, tetapi karena keberadaan fashion lokal tak mampu bersaing dengan baik.

Pakaian Lokal KW Masih Bertebaran

Kalau dibayangkan, bagi kalangan remaja atau anak muda yang lingkungannya kerap kali mementingkan gaya dibandingkan hal lain dan hanya memiliki budget pas-pasan, katakanlah sebesar 150 ribu rupiah, tentu budget segitu sangat terbatas untuk mendapatkan produk fashion lokal yang punya nilai “plus”.

Memang faktanya masih banyak produk fashion lokal untuk anak muda dengan harga terjangkau. Misal saja kaos dan hoodie di bawah 100 ribu rupiah. Tapi coba perhatikan dengan teliti bagaimana desain dan merk yang tercantum.

Bisa saja Adidas, Nike, Puma, Under Armour yang tercantum, tapi bisa dipastikan produk tersebut palsu alias KW. Ya, mana ada kaos Nike asli kok harganya 25 ribu rupiah? Belinya di bazar menjelang lebaran pula.

Soal barang fashion KW ini sebenarnya sudah lama ada dan menjamur. Ironisnya, produk-produk tersebut masuk kategori industri lokal.

Lebih ironis lagi jika barang KW tapi justru impor dari negara lain. Ini kerap terjadi pada produk jersey kostum sepak bola KW asal Thailand yang menjamur dan laris manis di mana-mana.

Saat ini merk-merk lokal untuk fashion anak muda memang kian hari kian meroket dan menemukan pasarnya, sebut saja Erigo, 3Second, Bloods, Kamengski, Ouval Research, Dagadu, hingga Joger. Tapi merk lokal tersebut juga memiliki masalah yang sama soal produk bajakannya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Jumlah Mesin ATM Terus Berkurang, Ada Apa?

Jumlah Mesin ATM Terus Berkurang, Ada Apa?

Kata Netizen
4 Alasan Orang Indonesia Suka Makanan Pedas

4 Alasan Orang Indonesia Suka Makanan Pedas

Kata Netizen
Peran Vital Guru Honorer dan 'Cleansing' yang Terjadi

Peran Vital Guru Honorer dan "Cleansing" yang Terjadi

Kata Netizen
Menyikap 'Rayuan Bos', Apa yang Mesti Dilakukan Bawahan?

Menyikap "Rayuan Bos", Apa yang Mesti Dilakukan Bawahan?

Kata Netizen
Lembaga Survei, Elektabilitas, dan Strategi Partai

Lembaga Survei, Elektabilitas, dan Strategi Partai

Kata Netizen
Dari Seorang Introvert Kita Belajar...

Dari Seorang Introvert Kita Belajar...

Kata Netizen
Menyemangati Anak Ketika Gagal Masuk Sekolah Favorit

Menyemangati Anak Ketika Gagal Masuk Sekolah Favorit

Kata Netizen
Budget Tipis dari Klien, Terima atau Tolak?

Budget Tipis dari Klien, Terima atau Tolak?

Kata Netizen
5 Cara Meningkatkan Kinerja Guru Sesuai dengan Kurikulum Merdeka

5 Cara Meningkatkan Kinerja Guru Sesuai dengan Kurikulum Merdeka

Kata Netizen
Fenomena 'Makan Tabungan', Kenapa Bisa Makin Marak?

Fenomena "Makan Tabungan", Kenapa Bisa Makin Marak?

Kata Netizen
Pemimpin Populis pada Pilkada 2024

Pemimpin Populis pada Pilkada 2024

Kata Netizen
Istri Alami Baby Blues, Bukan Berarti Manja atau Lebay

Istri Alami Baby Blues, Bukan Berarti Manja atau Lebay

Kata Netizen
PPBD dan Niat Membuat Pendidikan Berkualitas serta Berkeadilan

PPBD dan Niat Membuat Pendidikan Berkualitas serta Berkeadilan

Kata Netizen
Apa yang Dipertimbangkan Sebelum Resign dari PNS?

Apa yang Dipertimbangkan Sebelum Resign dari PNS?

Kata Netizen
Ketika Judi Online Mulai Menyasar Pelajar

Ketika Judi Online Mulai Menyasar Pelajar

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com