Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Keu gaya hudep hana meu oeh ban (Gaya hidup sekarang sudah tidak menentu).
Peubloe tanoeh blang geujak bloe HP (Rela jual tanah sawah untuk beli smartphone).
Penggalan lirik lagu tersebut menggambarkan realitas gaya hidup konsumtif yang menjerumuskan banyak orang, termasuk muda-mudi di Aceh, yang rela mengorbankan aset berharga demi mengikuti tren dan keinginan sesaat.
Buku The Top 10 Distinctions Between Millionaires and the Middle Class karya Keith Cameron mengungkap perbedaan mencolok dalam kebiasaan mengelola keuangan antara orang kaya dan kelas menengah. Kelas menengah sering terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang melebihi kemampuan mereka.
Paylater menjadi pilihan yang populer, memungkinkan mereka untuk membeli barang-barang di luar jangkauan finansial mereka. Uang yang seharusnya bisa ditabung untuk masa depan justru dihabiskan untuk membeli gadget terbaru, pakaian bermerek, dan liburan mewah.
Tidak hanya utang, keinginan untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat atau instan juga berbahaya. Fast food dan fast fashion, meskipun menarik, memiliki risiko yang tinggi, baik bagi lingkungan maupun finansial kita.
Memilih untuk membeli fast fashion dengan harga murah mungkin dapat memberikan banyak pakaian dengan harga terjangkau, tetapi kualitasnya tidak tahan lama. Sebaliknya, memilih slow fashion yang berkualitas baik dapat menjadi investasi jangka panjang, meminimalkan pembelian berulang-ulang.
Promo flash sale juga perlu diwaspadai. Jangan sampai ketika kita melihat promo tersebut langsung tergoda untuk check out barang yang sebenarnya tak dibutuhkan tanpa pertimbangan yang matang.
Meskipun saya masih berusaha melunasi utang, saya menyadari betapa pentingnya untuk memutus lingkaran utang yang melelahkan. Beberapa faktor, seperti gaji pas-pasan, biaya hidup yang tinggi, dan inflasi, memang berada di luar kendali individu dan menjadi alasan penghambat kelas menengah sulit mencapai kekayaan.
Akan tetapi, selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain seperti literasi keuangan yang perlu terus ditingkatkan pada tiap individu. Tanpa literasi keuangan yang baik, sekalipun seseorang memiliki gaji tinggi, ia tak akan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola keuangan dengan baik. Alih-alih bisa mengatur keuangannya, justru ia akan mudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan malah kesulitan untuk menabung.
Oleh karena itu, mari tingkatkan literasi keuangan sebagai langkah pertama menuju kebebasan finansial yang sejati.
Pada akhirnya, utang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi membantu, namun di sisi lain malah menjerat. Bagi kelas menengah, utang sering kali menjadi jebakan yang sulit dihindari, menghambat mereka mencapai kemapanan finansial.
Kebiasaan berutang, terutama untuk gaya hidup konsumtif adalah salah satu faktor utama yang menghambat kelas menengah untuk mencapai kemapanan finansial.
Ditambah lagi dengan godaan "racun" di media sosial dan solusi "tidak solutif" seperti paylater, semakin mempermudah kita untuk terjerumus dalam lilitan utang yang tak berujung.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Paylater" dan Racun Gaya Hidup: Musuh Tersembunyi Kelas Menengah Susah Kaya"