Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertama, kesejahteraan pedagang asongan. Kebijakan yang terlalu ketat justru meminggirkan mereka yang bergantung pada sektor informal ini.
Memberikan izin masuk dengan pengawasan yang wajar, misalnya, dapat menjadi solusi.
Kedua, standar aturan yang seragam. Ketidakkonsistenan aturan antar pelabuhan menciptakan ketidakadilan.
Dengan menetapkan standar yang seragam di seluruh pelabuhan, pedagang asongan dapat merencanakan usaha mereka dengan lebih baik.
Ketiga, kolaborasi dengan pedagang lokal. Alih-alih melarang, mengajak mereka bekerja sama melalui mekanisme izin resmi yang sederhana dan terjangkau akan lebih manusiawi.
Pedagang Asongan: Simbol Ketangguhan yang Perlu Didukung
Para pedagang asongan di pelabuhan bukan sekadar penjual, mereka adalah simbol ketangguhan masyarakat kecil yang terus berjuang di tengah segala keterbatasan.
Di balik senyum mereka saat menawarkan dagangan, ada cerita perjuangan untuk keluarga di rumah.
Sebagai bangsa yang mengedepankan nilai gotong-royong, sudah selayaknya kita, termasuk pengelola pelabuhan dan pihak terkait, mendukung mereka.
Kehadiran mereka tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menambah warna dalam pengalaman pelayaran.
Refleksi: Menata Kebijakan dengan Hati Nurani
Ketika kita membahas kebijakan, sering kali, angka-angka menjadi prioritas utama.
Namun, kisah para pedagang asongan di pelabuhan seperti Anging Mammiri mengingatkan kita bahwa, ada wajah-wajah manusia di balik data tersebut.
Kebijakan yang baik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kemanusiaan.
Memberikan ruang bagi pedagang asongan untuk berdagang dengan layak adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar bagi kesejahteraan mereka.