Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Anak yang fatherless sering kali kesulitan membedakan mana cinta yang sehat dan mana yang hanya manipulasi belaka. Karena tidak punya contoh bagaimana hubungan yang baik seharusnya berjalan, mereka bisa jadi lebih permisif terhadap perlakuan buruk dalam hubungan.
Misalnya, anak perempuan yang dari kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah bisa saja menerima perlakuan kasar dari pasangannya, tetapi tetap bertahan dengan alasan "setidaknya ada yang peduli."
Mereka merasa bahwa sedikit perhatian jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali, meskipun perhatian itu datang dengan perlakuan buruk.
Begitu juga dengan anak laki-laki. Tanpa figur ayah yang memberi contoh bagaimana memperlakukan pasangan dengan baik, mereka bisa tumbuh menjadi orang yang tidak paham pentingnya respek dan komunikasi dalam hubungan.
Bisa jadi mereka menjadi pasangan yang otoriter, cuek, atau bahkan abusive karena tidak pernah belajar bagaimana cara membangun hubungan yang sehat.
Ada dua kemungkinan ekstrem yang sering terjadi pada anak fatherless saat menjalin hubungan, yaitu mereka bisa jadi terlalu bergantung pada pasangan atau justru terlalu takut untuk membuka diri dan mempercayai orang lain.
Anak yang haus kasih sayang bisa menjadi terlalu clingy dalam hubungan, selalu takut ditinggalkan, dan rela melakukan apa saja demi mempertahankan pasangannya.
Mereka merasa tidak cukup berharga kalau tidak ada seseorang yang mencintai mereka, sehingga sering kali mereka bertahan dalam hubungan yang tidak sehat hanya karena takut kesepian.
Sebaliknya, ada juga yang malah membangun tembok tinggi dan enggan membuka hati karena trauma masa lalu. Mereka takut terluka, takut dikhianati, dan akhirnya memilih untuk menjaga jarak dengan orang lain.
Bahkan ketika menemukan pasangan yang baik, mereka tetap sulit percaya dan merasa selalu ada ancaman di balik hubungan tersebut.
Kondisi ini membuat mereka kesulitan menjalin hubungan yang sehat dan seimbang. Padahal, hubungan yang baik itu butuh keseimbangan antara memberi dan menerima, antara kepercayaan dan kemandirian.
Tapi karena sejak kecil mereka tidak punya contoh nyata dari ayah tentang bagaimana hubungan yang sehat seharusnya berjalan, mereka harus belajar sendiri dengan cara trial and error—yang sering kali penuh luka dan kekecewaan.
Kalau bicara soal kasih sayang dalam keluarga, banyak yang masih berpikir bahwa tugas seorang ibu adalah memberikan cinta dan perhatian, sementara ayah cukup jadi pencari nafkah.
Padahal, kehadiran ayah dalam kehidupan anak itu sama pentingnya. Bukan hanya untuk urusan ekonomi, tapi juga dalam membentuk pemahaman anak tentang cinta dan hubungan yang sehat.
Seorang ayah adalah sosok pertama yang mengenalkan konsep kasih sayang kepada anak, terutama bagaimana cara memperlakukan dan diperlakukan oleh orang lain.
Kalau sejak kecil anak sudah terbiasa merasakan cinta yang tulus dari ayahnya, mereka tidak akan mudah salah paham soal cinta di kemudian hari.
Banyak pria yang berpikir bahwa menunjukkan kasih sayang ke anak, apalagi anak laki-laki, itu tidak perlu dilakukan secara eksplisit.
Takut dikira cengeng atau kurang macho. Padahal, justru dari ayah-lah anak belajar bagaimana mencintai dan menghargai orang lain.
Cara ayah menunjukkan kasih sayang itu tidak harus selalu lewat kata-kata manis. Bisa lewat: