Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebagai catatan, menurut laporan Common Sense Media, anak-anak dan remaja menghabiskan rata-rata lebih dari 7 jam per hari di depan layar, di luar kebutuhan belajar.
Sementara di Indonesia, riset dari APJII (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna internet aktif adalah anak usia 10–19 tahun, dan sebagian besar mengakses media sosial tanpa pendampingan.
Ini bukan lagi sekadar gaya hidup digital, tapi sinyal bahwa generasi muda kita sedang menghadapi krisis daya pikir yang mendesak.
Brain rot bukan soal melarang teknologi. Ini soal bagaimana teknologi digunakan. Dan jika tidak disikapi serius, kita bisa saja menyaksikan generasi yang mahir meniru, tapi tak mampu berpikir mandiri.
Anak Hebat Butuh Brain Boost, Bukan Sekadar Asupan Konten
Mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045 tidak cukup hanya dengan menghasilkan anak-anak yang akrab dengan teknologi. Anak hebat adalah anak yang mampu mengelola pikirannya, bukan sekadar mengikuti arus konten.
Untuk itu, mereka membutuhkan brain boost—stimulus yang memperkuat kemampuan berpikir kritis, membangun imajinasi, dan menumbuhkan empati.
Brain boost tidak datang dari layar, melainkan dari interaksi bermakna, kegiatan aktif, dan lingkungan yang kaya stimulasi positif. Anak-anak membutuhkan pengalaman membaca buku cerita yang membuat mereka berimajinasi, berdiskusi tentang hal-hal yang sedang mereka lihat di internet, bermain di alam terbuka, atau bahkan membuat karya dari ide-ide sederhana yang mereka miliki.
Semua ini memperkuat koneksi otak yang membuat mereka mampu berpikir jangka panjang, memahami sebab-akibat, dan membedakan mana informasi yang bermanfaat dan mana yang hanya sensasi sesaat.
Dalam hal ini, peran orang tua dan guru sangat krusial. Orang tua perlu lebih hadir, bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara emosional dan intelektual—menjadi teman berdiskusi yang kritis dan bijak terhadap penggunaan teknologi.
Guru pun dituntut untuk tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi fasilitator yang menghubungkan pelajaran dengan dunia nyata dan dunia digital yang mereka kenal.
Langkah kecil seperti mengajak anak berdiskusi tentang konten yang mereka tonton, mengenalkan podcast atau buku bergambar yang sesuai usia, hingga mengajak mereka membuat konten positif sendiri, bisa menjadi cara sederhana namun berdampak besar dalam memberikan brain boost.
Di sinilah pendidikan karakter dan literasi digital harus berjalan beriringan—karena anak yang hebat tidak hanya bisa membaca buku, tapi juga bisa “membaca dunia”.
Kolaborasi Menuju Indonesia Emas 2045
Membangun generasi hebat tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Menuju Indonesia Emas 2045 adalah perjalanan panjang yang memerlukan kolaborasi seluruh ekosistem: keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, hingga penyedia platform digital.