Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fery W
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Fery W adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?

Kompas.com - 17/11/2025, 21:42 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Apa yang kamu bayangkan ketika aktivitas kecil yang kita lakukan setiap hari sebenarnya memiliki peran besar dalam roda perekonomian Indonesia?

Aktivitas sederhana seperti berbelanja di pasar tradisional, menyantap nasi goreng di gerobak keliling, hingga membeli sayur dari pedagang kaki lima, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai shadow economy atau ekonomi bayangan.

Meski terlihat sepele, transaksi-transaksi ini menyumbang porsi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan sering kali tidak tercatat oleh otoritas pajak.

Namun perlu digarisbawahi, banyak pelaku usaha informal di Indonesia bukanlah mereka yang dengan sengaja ingin menghindari pajak.

Berdasarkan pengamatan dan percakapan langsung, sebagian besar justru beroperasi di ruang informal karena sistem formal masih terasa rumit, akses terhadap infrastruktur belum merata, dan literasi keuangan masih terbatas.

Dalam banyak kasus, sektor informal tumbuh sebagai respons terhadap tantangan struktural tersebut.

Fenomena ekonomi bayangan yang kita temui sehari-hari ini sebenarnya memiliki sejarah panjang, konsep yang kompleks, serta dampak besar terhadap perekonomian—lebih dari sekadar transaksi di pinggir jalan.

Melihat Kembali Sejarah dan Konsep “Ekonomi Bayangan”

Konsep ekonomi bayangan bukanlah hal baru. Meski praktik transaksi tidak resmi sudah ada sejak lama, kajian formal mengenai topik ini mulai berkembang setelah Perang Dunia II, terutama di negara-negara Blok Timur yang menyebutnya sebagai “Ekonomi Kedua”—pasar gelap yang muncul untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi negara.

Perhatian global terhadap isu ini meningkat tajam pada era 1970–1980-an, ketika negara-negara maju menghadapi stagflasi dan tingginya beban pajak, sehingga mendorong masyarakat mencari pendapatan tambahan yang tidak tercatat.

OECD bersama para ekonom seperti Friedrich Schneider dan Edgar L. Feige kemudian mengembangkan metode pengukuran yang lebih canggih, termasuk model MIMIC (Multiple Indicators Multiple Causes), untuk memetakan aktivitas ekonomi yang sulit dilihat ini.

Secara umum, OECD mendefinisikan ekonomi bayangan sebagai seluruh aktivitas ekonomi—baik legal maupun ilegal—yang seharusnya dilaporkan kepada otoritas pajak, tetapi tidak dilaporkan.

Aktivitas ini mencakup empat kategori: produksi bawah tanah, produksi ilegal, sektor informal, dan produksi rumah tangga untuk konsumsi sendiri.

Faktor Pendorong: Dari Global hingga Relevansi di Indonesia

Laporan EY menunjukkan bahwa antara tahun 2000–2023, ekonomi bayangan menyumbang sekitar 11,8 persen dari PDB global. Meski terjadi penurunan, banyak negara masih mencatat angka yang cukup tinggi, mencapai rata-rata 19,3 persen.

Menariknya, penurunan paling besar justru terjadi di negara berpendapatan rendah—negara yang biasanya memiliki skala ekonomi bayangan paling besar.

Bank Dunia mencatat beberapa faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi bayangan, yang juga relevan di Indonesia:

  • Beban pajak dan biaya jaminan sosial yang tinggi, yang membuat banyak pelaku usaha memilih jalur informal.
  • Regulasi yang rumit dan birokrasi yang panjang, sehingga proses memulai atau menjalankan usaha secara legal menjadi sulit.
  • Korupsi yang meluas, yang menciptakan interaksi saling menguatkan antara ekonomi bayangan dan praktik tidak transparan.
  • Efektivitas pemerintah yang masih rendah, membuat masyarakat mencari alternatif di sektor informal untuk bertahan.

Mencari Arah: Bagaimana Ekonomi Bayangan Bisa Diformalkan?

Mengatasi ekonomi bayangan bukan perkara mudah. Perlu strategi yang komprehensif, terintegrasi, dan disesuaikan dengan konteks lokal. OECD dan EY mengidentifikasi beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik.

Wajib pajak perlu merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan dikelola secara transparan dan adil.

2. Mendorong formalisasi usaha dengan menyederhanakan perizinan dan birokrasi.

Bagi banyak pelaku usaha informal, berpindah ke sektor formal bukan soal niat, tetapi soal akses dan kemudahan.

3. Mengadopsi teknologi dan data pihak ketiga.

Pendekatan compliance by design dapat membuat pelaporan semakin otomatis, misalnya melalui kasir elektronik, faktur online, atau integrasi data transaksi digital.

4. Menggunakan pendekatan lintas lembaga (whole of government).

Sinkronisasi data antara otoritas pajak, lembaga anti-korupsi, pihak kepolisian, dan lembaga jaminan sosial menjadi kunci.

Pada akhirnya, strategi pengaturan ekonomi bayangan harus berjalan seimbang. Penegakan hukum tetap diperlukan untuk pelanggaran yang disengaja.

Tetapi pada saat yang sama, kebijakan perlu memperhatikan fakta bahwa sektor informal menjadi ruang bertahan bagi banyak masyarakat.

Transformasi menuju sistem formal mesti dilakukan secara bertahap, inklusif, dan manusiawi—agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya kuat, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sedikit Tentang "Shadow Economy" Antara Dampak dan Solusinya"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Menghadapi 'Ennui' dan Pallu Mara Tetap Istimewa
Menghadapi "Ennui" dan Pallu Mara Tetap Istimewa
Kata Netizen
Ketika Penderitaan Menjadi Viral, Empati atau Sensasi?
Ketika Penderitaan Menjadi Viral, Empati atau Sensasi?
Kata Netizen
Pengalaman Manis Mengunjungi Perpustakaan Freedom Institute
Pengalaman Manis Mengunjungi Perpustakaan Freedom Institute
Kata Netizen
Kenapa 'Kekerasan' Masih Menyelimuti Dunia Pendidikan?
Kenapa "Kekerasan" Masih Menyelimuti Dunia Pendidikan?
Kata Netizen
Clean Eating, Ketika Makanan Menjadi Bagian dari Proses Penyembuhan
Clean Eating, Ketika Makanan Menjadi Bagian dari Proses Penyembuhan
Kata Netizen
Ruang Sunyi yang Dibutuhkan Suami dan Cara Istri Memahaminya
Ruang Sunyi yang Dibutuhkan Suami dan Cara Istri Memahaminya
Kata Netizen
TKA Perdana Berjalan Lancar, Ini Evaluasi dan Tantangannya
TKA Perdana Berjalan Lancar, Ini Evaluasi dan Tantangannya
Kata Netizen
Cerita Dapur Kampung, Menu Mingguan dari Tanah Sendiri
Cerita Dapur Kampung, Menu Mingguan dari Tanah Sendiri
Kata Netizen
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Kata Netizen
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kata Netizen
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Kata Netizen
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Kata Netizen
Melihat Sekolah di Korea Selatan Mengurangi Sampah Makanan
Melihat Sekolah di Korea Selatan Mengurangi Sampah Makanan
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Tentang

Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com melalui donasi.

Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama akun kamu.

Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan yang berisi konten ofensif, diskriminatif, melanggar hukum, atau tidak sesuai etika dapat dihapus tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau