
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apakah wajar jika seorang influencer dibayar belasan juta rupiah untuk tampil di acara kampus, sementara seorang dosen berpendidikan S3 hanya menerima ratusan ribu?
Dan apakah profesi akademik memang selayaknya tidak memiliki “nilai” yang bisa dinegosiasikan, sebagaimana kreator digital punya rate card?
Pertanyaan ini kembali mencuat setelah sebuah unggahan di Threads menarik perhatian publik beberapa hari lalu.
Ketika Dosen Dibayar 300 Ribu, Influencer Belasan Juta
Cerita itu datang dari Junayd Floyd, seorang dosen dengan gelar S3 dari Monash University dan lebih dari 100 ribu pengikut di Instagram.
Ia menuturkan pengalamannya diundang ke sebuah acara kampus berbayar. Di panggung yang sama hadir pula beberapa influencer dengan bayaran belasan juta rupiah, lengkap dengan daftar kebutuhan atau rider mereka.
Sementara ia sendiri ditawari honor Rp300 ribu.
Dalam unggahannya, ia menulis sebuah kalimat yang membuat banyak orang berhenti sejenak:
“Ini bukan tentang duit 300 ribu yang mereka kasih untuk saya. Ini tentang menghargai waktu dan tenaga yang saya kasih untuk peserta.”
Dan kalimat penutupnya menjadi semacam wake-up call:
“It’s not the lack of money, it’s the lack of understanding of respect.”
Ungkapan tersebut bukan hanya curahan hati seorang dosen, tetapi cermin cara kita selama ini memandang profesi akademik dibandingkan profesi lain yang bergerak di dunia digital.
Mengapa Influencer Dibayar Lebih Tinggi?
Tanpa emosi, kita bisa memahami logikanya. Influencer dibayar berdasarkan data yang konkret: jangkauan audiens, tingkat interaksi, dan potensi exposure acara. Faktor-faktor itu memang punya nilai komersial yang jelas.
Sebaliknya, dosen—meski membawa ilmu, pengalaman, dan reputasi—sering kali tidak dinilai dari sisi tersebut. Pengetahuan dianggap sebagai “public good”, entitas yang seakan otomatis tersedia dan bisa dibagikan kapan saja.
Padahal, setiap sesi kuliah umum membutuhkan riset, persiapan materi, dan kompetensi akademik yang dibangun bertahun-tahun. Ketika usaha tersebut didevaluasi menjadi angka kecil, apalagi di acara berbayar, ketimpangannya terasa begitu terang.
Ini bukan soal nominal, tetapi soal proporsi dan etika menghargai profesi.
Dua Dunia, Dua Bahasa: Akademisi dan Industri Konten Kreatif
Pada dasarnya, baik akademisi maupun influencer memiliki peran yang sama penting: mengedukasi dan memengaruhi. Bedanya, akademisi bergerak melalui riset dan integritas ilmiah, sementara influencer bekerja lewat narasi dan algoritma.
Masalahnya, sekarang publik sering kali lebih cepat mempercayai sesuatu yang viral daripada sesuatu yang valid.
Ketika acara publik lebih menitikberatkan pada “siapa yang bisa menarik penonton” daripada “siapa yang bisa memberi kedalaman”, maka ruang akademisi perlahan bergeser.
Pertanyaannya kemudian muncul: Apakah dosen juga perlu punya rate card seperti influencer?
Mungkin saja, jika tujuannya adalah memberikan kejelasan dan profesionalisme.
Apakah Dosen Perlu Punya Rate Card? Mengapa Tidak?
Menetapkan nilai profesional bukan berarti mengomersialisasikan ilmu. Sama seperti dokter, pengacara, atau konsultan yang punya tarif, dosen pun berhak menentukan nilai waktu dan keahliannya ketika diminta mengisi acara di luar tugas kampus.
Masalah muncul ketika profesi akademik dibayangi stigma:
“Ilmu itu tidak boleh dibayar.”
Padahal, menghargai jasa seseorang tidak berarti membeli idealismenya. Kita bisa tetap menjunjung niat edukatif, sambil mengakui bahwa waktu dan keahlian juga memiliki nilai.
Bagaimana Jika Panitia Mahasiswa Dananya Terbatas?
Tentu, kita juga tidak bisa serta-merta menyalahkan mahasiswa. Banyak yang bekerja dengan anggaran kecil, merangkai acara dengan semangat gotong royong.
Namun konteksnya berubah ketika acara tersebut berbayar, atau melibatkan sponsor dan pembayaran tinggi untuk influencer. Pada titik itu, acaranya sudah memasuki ranah komersial.
Dan wajar jika narasumber akademik berharap perlakuan yang lebih proporsional.
Di sinilah pentingnya komunikasi terbuka sejak awal. Lebih baik menyampaikan keterbatasan secara jujur ketimbang memberikan amplop seadanya tanpa penjelasan.
5 Prinsip Menghargai Akademisi di Era Influencer
Agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, beberapa prinsip dapat menjadi pedoman:
1. Bedakan Acara Amal dan Acara Komersial
Jika acaranya non-profit, sebagian besar akademisi memahami kondisi tersebut. Tapi jika ada sponsor, tiket, dan influencer berbayar, maka standar penghargaan harus setara dengan konteks acara.
2. Transparansi dari Awal
Jelaskan detail anggaran, tujuan acara, dan bentuk penghargaan sejak tahap awal. Komunikasi jelas mencegah kekecewaan.
3. Hormati Waktu, Bukan Sekadar Uang
Jika honor tidak besar, bentuk penghargaan lain tetap bisa diberikan: transportasi yang layak, publikasi resmi, fasilitas memadai, atau apresiasi yang tulus.
4. Libatkan Akademisi Lebih Dalam
Jangan menjadikan dosen sekadar pembuka acara. Melibatkan mereka lebih awal akan meningkatkan kualitas diskusi dan memperkaya perspektif acara.
5. Normalisasi Rate Card untuk Akademisi
Rate card bukan jualan ilmu, tetapi bentuk profesionalisme. Dengan cara ini, publik tahu bahwa pengetahuan juga memiliki nilai.
Boleh Tidak Dosen Menjadi Influencer?
Tentu saja boleh. Bahkan semakin banyak akademisi yang hadir di dunia digital akan membuat ruang edukasi semakin kaya.
Dari Dr. Tirta hingga Prof. Rhenald Kasali, kita melihat bagaimana akademisi bisa menjembatani dunia ilmiah dan dunia publik dengan cara yang relevan dan mudah diakses.
Pada akhirnya, pengetahuan tidak kehilangan nilainya ketika disebarkan dengan cara yang lebih modern.
Antara Viral dan Bernilai
Di zaman ketika perhatian adalah mata uang, wajar jika sesuatu yang viral terlihat lebih berharga daripada sesuatu yang mendalam. Tapi bukan berarti pengetahuan harus kehilangan nilainya.
Jika influencer punya “harga”, akademisi pun punya “nilai”. Jika kreator digital punya rate card, tidak ada salahnya profesi akademik memiliki standar profesional yang sama.
Penghargaan bukan sekadar angka, tetapi cara kita memperlakukan seseorang dengan hormat. Dan menghargai ilmu adalah langkah kecil yang sangat berarti bagi masa depan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kalau Influencer Boleh Punya Rate Card, Kenapa Dosen Tidak?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang