
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Selain daya indah, Menteri Mu'ti menyentil soal daya gugah dan daya ubah. Buku-buku dengan alur pikir yang sirkular --cenderung berputar-putar alias tidak runut dan runtut menghambat minat membaca. Karena itu, sebaiknya guru-guru dilatih menulis. Penerbit harus berperan mencetak guru-guru penulis.
Ada kepentingan untuk mencetak guru-guru penulis yang lebih memahami bagaimana murid belajar; apa yang menarik minat para murid untuk dipelajari; dan bagaimana sebuah pembelajaran disampaikan dengan cara-cara kreatif.
Soalnya, guru-guru juga dihadapkan dengan berbagai konsep pembelajaran, seperti deep learning dan buku berbasis STEAM (science, technology, engineering, art, math). Konsep-konsep itu menjadi tidak "berbunyi" jika disampaikan oleh penulis yang tidak kompeten meskipun ia seorang guru.
Guru memang tidak seperti dosen yang harus menghasilkan karya tulis ilmiah dalam berbagai bentuk, termasuk buku. Namun, semangat guru untuk menulis, terutama menulis buku termasuk tinggi.
Banyak guru yang awalnya tertarik dalam program penerbitan buku antologi (menjadi kontributor) lalu ikut program menerbitkan buku karya sendiriâ??sering disebut buku solo.
Semangat itu muncul karena adanya pelatihan-pelatihan penulisan yang marak, baik dilakukan oleh lembaga diklat maupun oleh lembaga pemerintah.
Banyak pelatihan yang lebih mengarahkan guru untuk berani menulis dengan model mengisahkan pengalaman-pengalaman guru. Karena itu, lebih banyak buku karya guru yang muncul dalam bentuk memoar.
Selain itu, ada juga buku-buku berpola klaster, antologi tulisan yang merupakan kumpulan tulisan sendiri, seperti artikel opini, esai, atau cerpen.
Guru-guru lebih memilih untuk menunjukkan eksistensinya dalam menulis, terutama menulis buku. Jadi, apa pun bukunya, yang penting buku. Apa pun tulisannya, yang penting menulis.
Imbauan Menteri Mu'ti sebenarnya bukan sekadar guru mau menulis lalu menerbitkan buku sendiri, melainkan guru benar-benar kompeten menulis, terutama terkait dengan penyusunan bahan pembelajaran. Sebenarnya ada pertanyaan yang mendasar.
Apakah penulis bahan pembelajaran itu lebih baik guru/orang yang pernah mengajar atau boleh siapa saja tanpa harus guru? Mana yang akan lebih baik menulis bahan pembelajaran, guru atau nonguru?
Sepengalaman saya ketika menulis bahan pembelajaran, tanpa pengalaman mengajar maka saya tidak dapat membayangkan apa kebutuhan pembaca sasaran sebenarnya dan bagaimana situasi di kelas saat pembelajaran berlangsung. Artinya, meskipun saya paham dengan kurikulum, belum tentu saya mampu menuliskannya dengan baikâ??sebaik jika saya menjadi seorang guru.
Dalam menulis bahan pembelajaran, seorang penulis perlu melakukan transfer of knowledge, transfer of skill, dan transfer of wisdom yang berpusat pada siswa/murid.
Transfer kearifan itulah yang diandalkan kepada penulis buku yang merupakan seorang guru. Bukan sekadar mengalirkan pengetahuan dan keterampilan secara normatif, melainkan juga mengalirkan maknaâ??implementasi pembelajaran yang bermakna (meaningfull).
Pernah suatu ketika saya diminta mengajar siswa kelas XI sebuah SMA swasta di Bandung. Saya mengajar mapel Bahasa Indonesia dengan fokus utama kemahiran menulis. Itu merupakan suatu hal baru sekaligus tantangan bagi saya membuat para siswa itu tertarik dengan dunia tulis-menulis.
Secara teoretis mereka memasuki tahap menulis secara menyenangkan setelah menikmati membaca secara menyenangkan. Ketika mereka membenci atau tidak menyukai kegiatan membaca maka menulis pun menjadi sulitâ??untuk tidak mengatakan mustahil.
Dorongan menulis juga akan semakin kuat dengan kebebasan mengekspresikan sesuatu. Saya ingat dulu saat SMP, wali kelas saya yang juga guru Bahasa Indonesia mewajibkan semua murid menulis buku harian kelas setiap hari secara bergiliran. Mau tidak mau semua murid menulis dan wali kelas saya itu membebaskan apa pun ekspresi tulisan itu bentuknya, termasuk gambar. Tidak ada beban bagi kami, murid kelas IX SMP itu untuk menulis apa pun. Beban kami cuma satu, harus menulis!
Jadi, saya menjadi guru menulis karena saya dikenal sebagai penulis atau bekerja sebagai penulis. Lalu, apakah semua guru harus mengajarkan menulis?
Jawaban saya, YA, karena tidak ada satu bidang pun di dunia ini dapat lepas dari tulis-menulis. JIka guru tidak secara langsung mengajarkan tentang menulis, ia harus paham tentang tulisan yang buruk dan tulisan yang baik.