
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Karena itu, guru memang perlu terampil menulis agar ia mampu menilai produk tulisan dari para murid. Level selanjutnya ia mampu menulis bahan pembelajaranâ??termasuk buku teksâ??dengan baik.
Level lebih naik lagi, ia mampu mengalirkan cerita, pemikiran, penemuan, dan pengalaman dalam bentuk tulisan yang lebih bebas, baik fiksi maupun nonfiksi, yang menarik minat membaca orang lain. Sebagaimana guru-guru di Sumatra dapat mengisahkan peristiwa bencana yang terjadi di sana.
Melatih guru-guru untuk mahir menulis menjadi sebuah keniscayaan menuju pendidikan yang makin bermutu. Guru dapat lebih berdaya dan berdampak dengan menulis, terutama bahan pembelajaran sebagai sebuah terobosan.
Kita memerlukan daya kreatif guru untuk merancang bahan pembelajaran, terutama buku-buku yang menarik untuk generasi Alfa kini.
Pelatihan guru menulis perlu diprogramkan secara nasional dengan merancang silabus pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru menulis, termasuk tren penulisan yang telah berkembang.
Tiga fase menulis yang perlu dilatihkan, yaitu pramenulis, menulis draf, dan swasunting. Idealnya guru dilatih menulis selama 3 hari dalam kelas yang intensif. Guru-guru tersebut juga dipersiapkan melatih rekan-rekannya yang lain, termasuk murid-muridnya.
Saat acara Munas Ikapi tahun ini, Menteri Mu'ti juga menyampaikan imbauan agar guru menjadikan membaca buku dan menulis resensi sebagai PR.
Meskipun soal PR ini sering kali menjadi polemik, antara perlu dan tidak perlu, PR membaca buku bukanlah PR yang memberatkan, bahkan malah menyenangkan. Selesai membaca buku lalu menulis resensi adalah sebuah tantangan.
Namun, syaratnya bukuâ??buku nonteksâ??harus tersedia dan banyak. Buku harus mudah didapatkan dan tersedia dalam banyak judul dan banyak genre. Jangan sampai murid diberi PR membaca buku teks dan meresensinya.
Hal itu menjadi salah sasaran. Karena itu, janji Menteri Mu'ti menaikkan anggaran DAK untuk buku menjadi harapan menggairahkan kegiatan penulisan dan penerbitan.
Sepanjang saya melatihkan kepenulisan di daerah-daerah, peserta guru selalu ada. Mereka selalu antusias memperoleh ilmu baru tentang kepenulisan sebagai tanda munculnya kesadaran bahwa menulis itu penting --penting untuk karier mereka dan penting untuk generasi pembelajar masa depan.
Setidaknya mereka mulai berpikir menulis untuk mengubah pembaca dari tidak tahu menjadi tahu; dari tahu menjadi paham; dari paham menjadi mempraktikkan; dan seterusnya.
***
Lahirnya para guru penulis sudah terjadi sejak dulu. Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, adalah seorang penulis. Mohammad Sjafei pendiri INS Kayutanam, adalah seorang penulis. Penulis-penulis pada zaman Balai Poestaka juga banyak muncul dari kalangan guru. Mereka guru penulis yang canggih pada zamannya.
Pendiri Penerbit Tiga Serangkai yang legendaris adalah suami-istri guru yang menulis. Pendiri Penerbit Erlangga, juga seorang guru yang menulis. Dua penerbit itu merupakan dua kekuatan besar penerbit buku pendidikan yang masih eksis sampai kini.
Ya, apa jadinya dunia tanpa guru yang menulis? Apa jadinya Indonesia tanpa guru yang menulis?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Apa Jadinya Indonesia Tanpa Guru Penulis?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang