Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di Indonesia pasca Idulfitri biasanya akan terjadi urbanisasi. Banyak pemudik yang pulang ke kampung halaman serta perantau di kota-kota besar membawa serta saudara, teman, atau tetangga ke kota asal atau kota perantauannya untuk ikut mencari kerja.
Akibatnya, kota-kota besar di Indonesia, terutama DKJ Jakarta semakin penuh sesak oleh penduduk.
Dikutip dari laman Kemenko Perekonomian, Indonesia diprediksi akan memiliki 321 juta penduduk pada tahun 2045. Jumlah ini meningkat dibanding data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 yang berada di angka 255, 1 juta jiwa.
Dengan tingginya tingkat pertumuhan penduduk otomatis juga akan mendorong tingginya arus urbanisasi.
Kota-kota kecil dan sedang akan semakin banyak tumbuh di seluruh Indonesia. Sementara kota-kota besar dan daerah peri urban akan membentuk mega urban.
Pada tahun 2035, diperkirakan hampir 90% penduduk Jawa akan tinggal di perkotaan dengan konsentrasi terbesar di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang jika ditotal mencapai 76 juta jiwa. Sementara itu, pada 2045, masyarakat yang tinggal di perkotaan akan mencapai 72,8%.
Indonesia memang tidak memiliki undang-undang yang melarang warga negaranya untuk bekerja dan memperoleh penghasilan di mana saja.
Di satu sisi, urbanisasi dapat mempercepat pembangunan wilayah kota, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan masalah, seperti kriminalitas, kemacetan, ketersediaan hunian yang layak dan terjangkau, kelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Masalah urbanisasi dan perkotaan memang telah lama menjadi perhatian, tak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai negara lain. Permasalahan tersebut juga berkaitan dengan masalah yang terjadi di pedesaan, terutama alih fungsi lahan dan keterbatasan lapangan kerja.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 2011 terdapat 110 ribu hektar luas lahan yang beralih fungsi. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2019 hingga mencapai 150 ribu hektar.
Alih fungsi lahan biasa terjadi untuk keperluan pemukiman, pembangunan jalan tol atau proyek infrastruktur lain, pertambangan dan ekspansi sektor pariwisata.
Bahkan daerah pertanian yang subur sekaligus memiliki potensi wisata alam malah dialihfungsikan menjadi objek wisata. Tak jarang dilengkapi pula dengan fasilitas dan prasarana pendukungnya, seperti kafe dan villa atau resort.
Apalagi bila di sekitar daerah pertanian atau hutan memiliki sumber daya tambang, maka bisa dipastikan daerah tersebut akan jadi incaran para pebisnis tambang untuk dikeruk tanahnya dan mendirikan pabrik.
Akibatnya, dalam sekejap lingkungan yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat menjadi rusak.
Tak jarang bahkan kerusakan yang ditimbulkan mengakibatkan korban jiwa karena udara atau air yang tercemar limbah beracun atau bisa juga karena jatuh ke dalam lubang-lubang galian tambang yang tak terurus.