Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alex Japalatu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Alex Japalatu adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Mengunjungi Situs Gua Rambe Manu, Saksi Perang Kodi 1911-1913

Kompas.com - 18/11/2022, 11:06 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Akan tetapi, sayangnya hutan Binya Pahha tempat persembunyian Pasukan Kodi mudah diterobos. Letaknya yang berada di dasar lembah sangat riskan, jika tentara Belanda menyerang, tak akan ada jalan untuk melarikan diri bagi Pasukan Kodi.

Maka dari itu, Wona Kaka sebagai pemimpin pasukan dan Dita Ngedo pergi untuk mencari tempat persembunyian sekaligus benteng pertahanan yang lebih baik dan lebih kokoh.

Setelah mencari dengan berjalan kaki beberapa hari, mereka menemukan sebuah bukit berbatu yang memiliki gua di dalamnya. Bukit berbatu ini dikelilingi hutan lebat, hanya ada satu pintu untuk keluar dan masuk.

Gua itu bernama Rambe Manu. Kini kawasan gua tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Mangganipi, Kecamatan Kodi Utara, SBD. Gua Rambe Manu ini juga sudah ditetapkan sebagai situs sejarah.

Oleh Wona Kaka Gua Rambe Manu ini disulap menjadi sebuah benteng pertahanan. Medannya yang curam dinilai sangat pas untuk menghadang serangan musuh.

Batu-batu dengan ukuran sebesar kerbau menjadi senjata andalan Pasukan Wona Kaka, begitu pula dengan potongan-potongan kayu sepelukan orang dewasa yang digantung dengan tali di depan pintu gua.

Jadi jika ada musuh yang mulai mendaki dan mendekat ke arah mulut gua, senjata-senjata yang telah disiapkan tadi hanya tinggal didorong saja, kemudian batu dan kayu akan segera menimpa siapa saja yang berada di bawahnya.

Setelah merampungkan segala persiapan, Wona Kaka mengirim Pati Karaka menuju Rada Kapal yang berada di sekitar muara Pero di Bondo Kodi.

Rada Kapal merupakan tempat tentara Belanda membangun tangsi atau barak. Tempat itu dipilih karena tepat di belakangnya adalah pantai yang langsung terhubung dengan Lautan Hindia.

Diutusnya Pati Karaka adalah untuk menantang tentara Belanda yang berada di Rada Kapal. Akan tetapi karena Pati Karaka tak dapat berbasah Melayu, ia meminta bantuan Rato Ndima Kodi, seorang pedagang keturunan mantan tentara Majapahit.

Namun, Rato Ndima Kodi hanya berani mengantar Pati Karaka ke dekat tangsi Belanda. Maka dari itu, dari luar tangsi Pati karaka berteriak menantang, “Wona Kaka siap bertempur di Rambe Manu!"

Tak sedikit tentara Belanda yang menertawakannya. Namun, Letnan Brendsen, komandan tentara Belanda menanggapi teriakan Pati Karaka dengan serius.

Letnan Brendsen menerima tantangan itu dan keesokan harinya ia beserta tentara Belanda lain pergi menuju Rambe Manu.

Karena jarak yang jauh, sekitar 20 Km, mereka membutuhkan waktu setengah hari perjalanan.

Rombongan tentara Belanda yang sudah tiba di Labba Paddu, sekitar 3 Km dari Rambe Manu, tak mengetahui bahwa pasukan Wona Kaka telah melakukan segala persiapannya dengan utuh.

Perintah Wona Kaka jelas, begitu tentara Belanda mendaki, dia akan menembak sebagai aba-aba menyerang. Pasukan yang lain bertugas memotong tali pengikat kayu, yang lainnya bertugas mendorong batu agar meluncur ke bawah.

Setibanyak di Rambe Manu dan tanpa persiapan yang matang, tentara Belanda tak mengira akan diserang dengan batu dan kayu. Akibatnya, sekitar 20 tentara Belanda tewas seketika.

Michael Mahemba (65), seorang peneliti sejarah Wona Kaka mengatakan bahwa tempat pertempuran itu menguntungkan bagi pasukan Wona Kaka, apalagi pada waktu itu sedang musim hujan.

“Medannya menguntungkan bagi Wona Kaka. Tanah jadi becek sehingga kayu dan batu mudah meluncur," kata Michael.

Saya menemui Michael di Bondo Kodi, di kediaman Daniel Mahemba, mantan Kepala Desa Bondo Kodi. Michael dan Daniel adik-kakak kandung. Rumah mereka berdampingan.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
'Selain Donatur Dilarang Mengatur', untuk Siapa Pernyataan Ini?

"Selain Donatur Dilarang Mengatur", untuk Siapa Pernyataan Ini?

Kata Netizen
Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang 'Tidak'?

Kenapa Mesti Belajar Menolak dan Bilang "Tidak"?

Kata Netizen
'Fatherless' bagi Anak Laki-laki dan Perempuan

"Fatherless" bagi Anak Laki-laki dan Perempuan

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau