Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Padahal, konon katanya Stasiun manggarai digadang-gadang akan menjadi salah satu stasiun termegah di kawasan Asia Tenggara.
Apakah masalah berhenti di situ? Ternyata tidak. Ketika cuaca sedang hujan di beberapa titik terjadi kebocoran sehingga membuat lantai peron basah dan licin.
Di luar masalah tak matangnya fasilitas Stasiun Manggarai, penumpang justru malah mendapat kabar yang kurang mengenakkan.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melempar wacana penyesuaian sistem tarif pembayaran KRL CommuterLine berdasarkan label kaya dan miskin. Alasannya agar subsidi bisa lebih tepat sasaran.
Jadi, penumpang yang dinilai kaya dan tak layak menerima tarif KRL non-subsidi akan dikenai tarif lebih besar dibandingkan penumpang golongan miskin.
Perlu diketahui, saat ini besaran tarif perjalanan KRL Commuter Line di Jabodetabek sebesar Rp3.000 untuk 25 km pertama dan ditambahkan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Andai wacana sistem tarif baru jadi dilaksanakan pada 2023, maka penumpang KRL bakal dilabeli sebagai penumpang "kaya" atau "miskin".
Padahal nyatanya, masyarakat kelas menengahlah yang menjadi pengguna KRL Commuter Line terbesar. Mayoritas dari mereka adalah pekerja yang berasal dari pinggiran ibu kota yang tak mampu membeli rumah di Jakarta.
Mereka ini adalah golongan-golongan pekerja yang jelas bukan termasuk ke dalam kategori “penumpang berdasi” seperti apa yang disebut Budi Karya selaku Menhub yang layak dikenai tarif KRL non-subsidi.
Dari kacamata orang yang rutin menggunakan KRL sebagai transportasi utama, wacana ini sangat memberatkan banyak orang.
Jika aturan itu terkait harga gas elpiji atau tarif listrik, monggo saja dibedakan antara subsidi atau tidak karena memang terlihat jelas pembedaannya. Demikian pula BBM, wajar saja ketika punya kendaraan bagus dan mahal maka tidaklah layak memakan subsidi.
Akan tetapi akan berbeda ceritanya jika aturan tersebut diterapkan pada transportasi umum seperti KRL. Penggolongan penumpang kaya dan miskin inilah yang justru menimbulkan polemik.
Sifat KRL yang komunal dipandang tidak pas jika diterapkan pembedaan tarif berdasarkan kemampuan ekonomi.
Padahal, jika sudah berada di dalam gerbong akan sama berdesak-desakannya, dorong-dorongan, dan sama-sama menanggung risiko kehilangan barang bawaan karena ada kemungkinan copet yang telah mengintai.
Kalangan menengah pantas resah mengingat mereka bakal mendapat predikat "kaya" secara mendadak walau kenyataannya taraf hidupnya sama sekali tak sebanding seorang Raffi Ahmad.