Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Septian Ananggadipa
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Septian Ananggadipa adalah seorang yang berprofesi sebagai Auditor. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Apa Alasan di Balik Sistem Perbankan Global yang Bergantian Ambruk?

Kompas.com - 06/04/2023, 16:28 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Hal tersebut dikarenakan uang yang dikelola sebagian besar merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK), alias dana nasabah.

Meski sebuah bisnis bank itu tidak memerlukan modal yang besar, namun dari sisi kewajiban ada “utang” kepada nasabah yang lantas dikelola menjadi penyaluran kredit atau investasi surat berharga.

Maka dari itu, bank sering disebut sebagai bisnis yang mengandalkan leverage, sebab bank sangat mengandalkan dana yang “dipinjam” dari nasabah untuk menjalankan bisnisnya.

Semua dana yang disimpan di bank tentu didasarkan pada kepercayaan masyarakat bahwa uangnya akan aman. Namun, secara bisnis, bank akan menyalurkan uang simpanan nasabah tersebut menjadi kredit atau pembiayaan.

Selain menyalurkannya menjadi kredit, bank juga bisa menyimpan dana tersebut di bank lain, atau berinvestasi dengan membeli surat berharga, untuk mendapatkan imbal hasil. Bank biasanya hanya menyimpan sebagian kecil asetnya dalam bentuk kas.

Lantas, bagaimana jika ada nasabah yang ingin menarik dananya secara cash sementara bank tidak memiliki cukup kas?

Inilah alasannya bank perlu mengelola likuiditasnya dengan hati-hati. Bila kepercayaan masyarakat terhadap bank terus menurun, maka nasib bank tersebut bisa jadi akan serupa dengan kasus SVB dan Signature.

Sebuah kondisi bank dengan keterbatasan kas tersebut berhubungan dengan sistem Fractional Reserve Banking yang saat ini diterapkan hampir di seluruh dunia.

Jadi secara regulasi, bank "hanya" diwajibkan menyediakan cadangan kas dalam jumlah tertentu, tidak boleh semuanya disalurkan menjadi kredit atau surat berharga.

Reserve ratio yang umum di dunia adalah sekitar 10%, sehingga secara sederhana jika terdapat DPK sebesar Rp1.000 miliar, maka kas minimum yang perlu disimpan oleh bank sebesar Rp100 miliar. Sisanya bank yang menentukan ke mana uang tersebut akan disalurkan.

Oleh karenanya, jika ada 30% dari nasabahnya yang menarik dana dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan, tentu bank akan kesulitan memenuhinya.

Apalagi di era suku bunga tinggi, surat berharga negara menjadi problematika tersendiri karena bank akan merugi jika harus menjualnya di tengah tekanan.

Seperti kata-kata yang pernah diucapkan oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933.

"When you deposit money in the bank, the bank does not put your money into a safe deposit vault. It invests your money in many different forms of credit-bonds and many other kinds of loans".

Banyak yang tidak menyadari bahwa kredit yang disalurkan oleh bank akan menjadi uang "baru" yang beredar di masyarakat. Misalnya si A menyimpan uang Rp100 miliar di Bank A, lalu bank A menyalurkan kredit Rp90 miliar ke si B (ingat bank harus menyimpan cadangan 10% atau Rp10 miliar dalam bentuk kas).

Selanjutnya si B bisa menggunakan uang "baru" tersebut untuk membeli barang, modal usaha, atau bahkan menyimpannya lagi ke bank B. Jika si B menyimpan Rp90 miliarnya ke bank B, maka bank B bisa menyalurkan kredit ke si C sebesar Rp81 miliar, dan seterusnya.

Ketika roda uang tersebut terus bergulir tentu uang yang beredar akan semakin banyak bukan? Jika uang semakin banyak tentu akan berdampak pada permintaan (demand) yang semakin tinggi.

Oleh karena itu Bank Sentral biasanya sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan penyaluran kredit.

Sejatinya pertumbuhan kredit ditujukan untuk menggerakkan roda ekonomi, seperti menambah modal usaha, membeli mesin baru, atau membangun pabrik sehingga menambah lapangan kerja. Namun jika penyaluran kredit ini berlebihan, tentu bisa jadi berujung kenaikan harga atau inflasi.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau