Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Alhasil, fungsi penyaluran kredit menjadi pedang bermata dua bagi sistem ekonomi. Pada satu sisi, penyaluran kredit akan mendorong produktivitas sektor usaha.
Namun, di sisi lain jika tidak dikelola dengan benar maka akan mendorong kesenjangan sosial atau invequality. Artinya, pengusaha kaya akan semakin mudah mendapatkan tambahan modal dengan bunga rendah, sementara pengusaha kecil akan dibebani bunga tinggi atau bahkan terjebak kredit konsumtif.
Dengan memahami beberapa konsep diatas, sebesar apapun sebuah bank jika nasabah berbondong-bondong menarik dananya, tentu akan berpotensi kolaps.
Kondisi krisis likuiditas hingga berujung bangkrut dialami oleh SVB dan Signature Bank, yang tidak mampu memenuhi penarikan dana nasabahnya.
Eksposur masalah lebih jumbo lagi dialami Credit Suisse (CS), bank berskala global ini kesulitan likuiditas hingga harus meminjam USD 54 miliar atau sekitar Rp800 triliun ke bank sentral Swiss.
Nasib bank yang telah berdiri selama 167 tahun ini bahkan harus berakhir diakuisisi oleh rival senegaranya yaitu UBS, demi mencegah kepanikan nasabah meluas.
Sejatinya Credit Suisse sudah cukup lama mengalami penurunan bisnis, bahkan pada tahun 2015 s.d. 2017 mengalami kerugian berturut-turut.
Pada 2021 dan 2022 ini juga CS mengalami loss sangat dalam hingga CHF 7.293 juta. Belum lagi berbagai skandal manajemen yang hampir setiap tahun menghinggapi CS seperti skandal espionase tahun 2020, kerugian investasi di Greensill dan Archegos di 2021, hingga kasus pencucian uang di 2022.
Laporan keuangan CS tahun 2022 juga disematkan opini Adverse Opinion (Tidak Wajar) oleh KAP-nya yaitu PWC. Sederet kesalahan itulah yang membuat Credit Suisse "dihukum berat" oleh pelaku pasar.
UBS yang mengakuisisi CS pun "hanya" mau membayar sekitar sekitar USD 3,2 miliar, padahal kapitalisasi pasar CS sebelum kasus ini masih sekitar USD 7 miliar.
Alhasil setelah pengumuman UBS tersebut, harga saham CS langsung ambles 55% dalam sehari. Padahal kapitalisasi pasar Credit Suisse dahulu pernah menembus USD 87 miliar di tahun 2007, kini dihargai USD 3,2 miliar. Luar biasa dampaknya jika nasabah sudah kehilangan kepercayaan pada sebuah bank.
Industri perbankan global kini mengalami periode yang sulit, terutama sejak Global Financial Crisis tahun 2008 yang meruntuhkan Lehmann Brothers.
Apalagi The Fed memberi sinyal akan melakukan berbagai cara untuk menjaga stabilitas ekonomi AS, termasuk "mencetak uang" lagi untuk memberi suntikan likuiditas ke industri perbankan.
Jika terjadi dalam waktu yang panjang, printing money US Dollar tentu saja akan menimbulkan gejolak serius di ekonomi global.
Bukan tidak mungkin, di masa depan industri perbankan akan mengalami disrupsi yang besar setelah mengalami badai krisis kepercayaan ini.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bergantian Ambruk, Apa yang Terjadi Pada Sistem Perbankan Global?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.