Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Memang perlu diakui ada kelalaian dalam proses rantai pasok bahan obat, produksi obat, maupun celah dalam regulasi yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku.
Saya sepakat bahwa obat sejatinya adalah racun. Akan tetapi, obat juga dapat bermanfaat bagi kesehatan bila digunakan dengan benar dengan dosis yang tepat pula.
Hal itu lah yang menyebabkan obat merupakan produk dengan regulasi paling ketat (high regulated product) supaya keamanan (safety), khasiat (efficacy), dan mutunya (quality) terjamin sebelum sampai ke tangan pasien sebagai end user.
Agar kita semua mengetahu bagaimana proses yang harus dilalui sebuah obat untuk bisa sampai ke tangan pasien, berikut akan saya berikan sedikit gambaran.
1. Penelitian dan penemuan obat baru
Sebuah obat tidak tercipta dengan sendirinya, obat ditemukan setelah melewati proses penelitian yang panjang. Untuk menjamin keamanan dan khasiatnya, obat baru harus terlebih dahulu melewati Uji Preklinik dan Uji Klinik.
Uji Preklinik dilakukan terhadap hewan coba untuk mengevaluasi keamanan obat, sementara Uji Klinik dilakukan terhadap sukarelawan sehat dan sakit yang terdiri dari 4 fase, untuk mengevaluasi efikasi/khasiat obat.
Jika berhasil lulus seluruh tahap-tahap tadi, barulah obat baru tersebut dapat dipatenkan untuk digunakan sebagai pengobatan.
2. Pembuatan bahan baku obat
Sebuah obat sudah tentu membutuhkan bahan baku obat. Bahan baku ini terdiri dari bahan aktif obat dan bahan tambahan obat yang harus dibuat di fasilitas produksi berstandar GMP (Good Manufacturing Practice) dan diuji sesuai standar Farmakope.
3. Pendistribusian bahan baku obat
Di Indonesia, 90% bahan baku obat yang digunakan untuk produksi obat masih melalui proses importasi. Meski demikian, proses pengadaan bahan baku obat hingga penyalurannya ke industri di Indonesia, diatur secara ketat oleh Kementerian Kesehatan dan BPOM.
Selain itu hanya beberapa sarana tertentu saja yang diperbolehkan untuk mengimpor dan mendistribusikan bahan obat, tentunya harus memiliki izin dari Kementerian Kesehatan dan tersertifikasi Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) oleh BPOM.
Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, sebuah lembaga pengadaan bahan baku obat perlu memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti fasilitas penyimpanan yang sesuai hingga SOP yang mumpuni.
Tujuannya tak lain untuk memastikan bahwa bahan obat dikelola (pengadaan, penyimpanan, dan penyalurannya) dengan baik, sehingga keaslian dan mutu bahan obat dapat dipertahankan hingga sampai di tangan Industri Farmasi, serta menjamin ketertelusuran rantai pasok untuk meminimalisir penyalahgunaan.
4. Produksi obat jadi
Proses selanjutnya setelah Industri Farmasi menerima bahan obat adalah mengolah bahan tersebut sesuai standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) hingga menjadi produk yang siap dikonsumsi pasien.
Proses produksi ini juga termasuk proses quality control (QC) dan quality assurance (QA) yang ketat untuk meluluskan suatu produk. Pelaksanaan pengujiannya pun harus dilakukan dalam laboratorium yang menerapkan standar Good Laboratory Practice (GLP).
5. Registrasi Obat
Ketika obat sudah selesai diproduksi, obat tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu ke otoritas pengawas obat yang berwenang, yakni BPOM.
Produsen obat harus menyerahkan semua dokumen yang berkaitan dengan keamanan, khasiat, dan mutu produk sesuai format ASEAN Common Technical Dossier (ACTD) untuk dievaluasi oleh para expert.
Proses ini disebut juga sebagai tahap pengawasan pre-market. Setelah memperoleh Nomor Izin Edar, barulah produk obat dapat diedarkan kepada masyarakat.