Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hendra Fokker
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Hendra Fokker adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Ketika Nelayan Pantai Boom Merespons Wacana Eskpor Pasir Laut

Kompas.com - 24/06/2023, 19:28 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Wacana pemerintah yang kembali membuka izin ekspor pasir banyak menuai pro dan kontra di masyarakat. Meski begitu, pemerintah sebenarnya menegaskan aktivitas pengerukan pasir laut akan dilakukan di titik tertentu saja.

Jadi artinya pemerintah menjanjikan tidak akan mengeruk pasir di area yang termasuk dalam kawasan konservasi alam dan tidak akan memberikan dampak yang akan terjadi terhadap habitat alami yang terdapat di sana.

Alasan utama dikeluarkannya izin ekspor pasir laut adalah untuk mengurangi dampak negatif sedimentasi. Akan tetapi, para pengamat lingkungan memiliki pandangan berbeda mengenai aktivitas pengerukan pasir ini.

Secara alami, sedimentasi dianggap tidak akan mengganggu atau merusak ekosistem yang ada. Malah akan memberikan dampak negatif jika dilakukan pengerukan yang justru akan mengubah dan mengancam ekosistem secara berkelanjutan.

Momen saat membersamai aktivitas nelayan Pantai Pancer, Banyuwangi.Kompasianer Hendra Foker Momen saat membersamai aktivitas nelayan Pantai Pancer, Banyuwangi.
Saat saya berkunjung ke Banyuwangi pasca ramai soal reklamasi Teluk Benoa, hal serupa juga diungkapkan para nelayan di sana.

Mengenai aktivitas pengerukan pasir laut yang digunakan untuk kepentingan reklamasi, nelayan Pantai Pancer hingga Boom menolak keras.

Alasan penolakan itu tak lain karena akan adanya masalah lingkungan yang terjadi, seperti penurunan jumlah ikan secara drastis karena rusaknya area lindung ikan-ikan atas adanya aktivitas pertambangan di muara.

Apalagi jika titik pengerukan pasir laut itu merupakan area tangkap nelayan, tentunya akan memengaruhi perekonomian para nelayan tersebut secara signifikan.

Secara garis besar memang, pemahaman para nelayan atas kebijakan pasir laut, baik untuk kepentingan reklamasi, ekspor, atau industri ekstraktif yang selalu menimbulkan pertentangan. Apalagi jika sudah berkaitan dengan perilaku pertambangan.

Maka 10 tahun silam, melalui SK Menperindag Tahun 2003, ekspor pasir laut dihentikan secara sementara. Sebab banyak terjadi penyimpangan dalam tata pelaksanaan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Lantas, mengapa saat ini justru diberikan ruang terbuka (izin) untuk kegiatan pertambangan pasir laut?

Perlu diketahui, area pesisir adalah tempat tinggal bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Bukan hanya nelayan, melainkan seluruh warga yang berkaitan dengan kegiatan sosial ataupun ekonomi secara luas.

Apalagi Walhi dan Greenpeace juga menjelaskan perihal ancaman terhadap lingkungan atas dibukanya area pertambangan di sekitar muara.

Walhi menegaskan, perilaku pertambangan pasir laut akan memberi dampak langsung bagi pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Abrasi akan terjadi secara masif, dan penurunan ketinggian pulau/wilayah pesisir akan lebih cepat terjadi, ditambah dengan alam sekitar yang terdampak. Terlebih adanya narasi politik yang turut mengemuka dengan hadirnya kebijakan ini.

Aktivitas nelayan Pantai Merah, Banyuwangi.Kompasianer Hendra Foker Aktivitas nelayan Pantai Merah, Banyuwangi.
Seorang nelayan di Pantai Boom apakah kegiatan penambangan pasir laut hasil sedimentasi ini akan dipindah ke lokasi lain bila di lokasi tersebut sudah tak ada lagi pasir yang bisa ditambang?

"Sedimentasi pasir laut itu, kan, terbentuk dalam waktu lama, lha, kalau ditambang pasti cepat habis, Mas. Kalau sudah habis, apakah tambang itu akan pindah ke lokasi lain?" ungkap seorang nelayan di Pantai Boom.

Belum lagi limbah yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan, sudah dipastikan dapat merusak ekosistem pantai dan laut di sekitarnya.

Melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Pemerintah dianggap terbuka dengan korporasi atas eksploitasi alam dalam pemberian izin pertambangan.

Bahkan lebih lanjut diungkapkan, pengambilan pasir laut tidak hanya di area pesisir dengan memungkinkan untuk penambangan di dasar laut.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti juga turut memberi pernyataan penolakan karena khawatir akan adanya kerusakan alam akibat adanya izin ekspor pasir laut yang dikeluarkan pemerintah.

“Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” ungkapnya lewat akun Twitter pribadinya.

Maka dari itu, kebijakan perizinan ekspor pasir laut demi kepentingan ekonomi yang justru malah akan menyebabkan kerusakan alam, bukanlah kebijakan yang tepat.

Sebagai negara maritim, kawasan laut Indonesia bukan hanya menjadi sumber penghidupan para masyarakat pesisir, terutama nelayan, melainkan juga menjadi daerah wisata bahari.

Indonesia memiliki berbagai lokasi konservasi biota laut yang dilindungi. Maka dari itu demi menjaga kelestarian laut Indonesia, aktivitas seperti penambangan pasir laut semestinya tidak dilakukan.

Kiranya demikian, harapan dari para nelayan di pesisir perihal persoalan pertambangan pasir laut. Kebergantungan ekonomi pada laut adalah fakta sosial yang tidak dapat diganggu gugat.

Meski memang saat ini Kementerian KKP telah memberi penjelasan secara rinci perihal tata aturan yang akan dijalankan jika kebijakan ekspor pasir laut nantinya diberlakukan.

Semoga saja jika nantinya kebijakan ini benar-benar dijalankan, akan ditemukan solusi terbaiknya dan tidak ada yang akan dirugikan, baik itu masyarakat maupun alam.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pasir Laut Dikeruk, Apa Kata Nelayan?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Kata Netizen
Melihat dengan Jelas Paradoks 'Needing Nothing Attracts Everything'
Melihat dengan Jelas Paradoks "Needing Nothing Attracts Everything"
Kata Netizen
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Kata Netizen
'Kangkung Cabut', Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
"Kangkung Cabut", Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
Kata Netizen
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Kata Netizen
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Kata Netizen
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Kata Netizen
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Kata Netizen
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Kata Netizen
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main 'Push Bike'
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main "Push Bike"
Kata Netizen
Turut Campur Mencari Jodoh yang Sudah Diatur
Turut Campur Mencari Jodoh yang Sudah Diatur
Kata Netizen
Tantangan HRD di Tengah Ramainya Efisiensi
Tantangan HRD di Tengah Ramainya Efisiensi
Kata Netizen
Menelisik Manfaat dan Harapan Gambut Tropis Indonesia
Menelisik Manfaat dan Harapan Gambut Tropis Indonesia
Kata Netizen
Sudah Sejauh Mana Status Gizi Balita Kita?
Sudah Sejauh Mana Status Gizi Balita Kita?
Kata Netizen
Wisuda TK Lengkap dengan Toga dan Lainnya, Belebihan?
Wisuda TK Lengkap dengan Toga dan Lainnya, Belebihan?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau