Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Patresia Kirnandita dalam bukunya yang berjudul Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa mengungkapkan bahwa pola asuh yang tidak ideal dapat menyebabkan luka emosional yang berkepanjangan pada diri seorang individu, bahkan hingga ia dewasa.
Luka emosional yang berkepanjangan ini biasa juga dikenal dengan istilah inner child.
Konsep inner child awalnya diperkenalkan oleh psikolog Carl Jung (1875-1961), yang berpendapat bahwa terdapat bagian dalam diri setiap individu yang memengaruhi perilaku dan keputusan yang mereka ambil.
Pengalaman pola asuh yang buruk dapat memberikan dampak jangka panjang pada individu, terutama terkait dengan inner child mereka.
Akibat jangka panjang dari beban emosional dan trauma masa kecil yang tak teratasi, akan berdampak dan memengaruhi hubungan sosial serta kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yang baik.
Kenangan buruk masa lalu akan bisa memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, misalnya seperti kesulitan membangun hubungan yang sehat hingga bisa menciptakan pola pikir serta perilaku yang merugikan baik diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.
Bagi sebagian orang konsep orangtua toksik hanyalah omong kosong dan menganggap yang ada hanyalah anak yang tak berbaikti, anak yang mudah mengeluh, anak yang suka menyalahkan, anak yang sering membantah, hingga anak yang durhaka.
Ditambah lagi ada juga yang percaya bahwa anak-anak dengan sikap seperti itu timbul akibat mendapat pengaruh negatif dari hal yang kebarat-baratan.
Berita pembakaran gedung sekolah di Temanggung dan di Guyana mengingatkan saya akan pernyataan Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, seorang konsultan pengasuhan anak yang disiarkan oleh Kompas TV.
Dalam siarannya, Ia menyampaikan bahwa semua pelaku kekerasan pada dasarnya memiliki penyebab dan salah satu penyebab tersebut adalah pola asuh orangtua.
Apa yang disampaikan oleh Ihsan senada dengan apa yang ditulis oleh Patresia dalam bukunya, bahwa peran orangtua dalam membentuk dan memengaruhi anak itu penting.
Masih menurut Ihsan, Ia menekankan bahwa jika kita ingin melihat perubahan pada anak, kita perlu mengubah lebih dulu perilaku kita dalam berinteraksi dengan mereka.
Hal itu karena, menurut Ihsan, ketika anak semakin dewasa kita sebagai orangtua lebih banyak mengajak mereka untuk berbicara dan berdiskusi alih-alih hanya menceramahi dan memberi nasihat kepada anak.
Artinya, mendengarkan dan memberi ruang bagi anak untuk bisa mengekspresikan diri dan perasaan mereka adalah hal yang sangat penting, sehingga anak akan merasa dihargai dan diperhatikan.
"Seharusnya semakin dewasa anak kita semakin banyak diajak ngomong, bukan diomongin," kata Ihsan.