Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kasus R (14) yang nekat membakar sekolahnya di Temanggung karena sakit hati setelah mendapat perundungan dari teman-teman dan gurunya sendiri adalah contoh tragis dari dampak yang dapat timbul akibat pola asuh yang tak sehat serta kekerasan yang dialami oleh anak.
Dalam buku "Homecoming: Reclaiming and Championing Your Inner Child" karya John Bradshaw dijelaskan bahwa ketika anak tidak mendapatkan kasih sayang yang layak sebagai manusia dari orangtua, keluarga, guru, dan sebagainya, hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa frustrasi yang kemudian berkembang menjadi trauma yang signifikan.
Di samping itu, dampak dari inner child yang terluka dapat tercermin dalam berbagai perilaku destruktif saat seseorang tumbuh dewasa. Misalnya, sabotase diri, menyakiti diri sendiri, perilaku agresif, hingga tindak kekerasan lainnya.
Terkait hal ini saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Agstried Piethers, psikolog anak dan pendidikan, yang saya dapat dari buku Filosofi Teras milik Henry Manampiring.
Agstried mengatakan bahwa seringkali orangtua (atau mungkin juga guru?) memiliki tuntutan yang tidak realistis terhadap perkembangan putra-putri mereka.
Senada dengan apa yang disampaikan Patresia, "Anak bukan buku kosong tempat orang tua bebas menorehkan apa saja sekehendak mereka".
Mereka tidak boleh mengabaikan bahwa peran orangtua (mungkin juga guru?) yang ideal adalah sebagai pembimbing, pemandu, atau fasilitator, bukan atasan, penguasa, apalagi diktator.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tragedi Pembakaran Sekolah dan Inner Child: Mengapa Pola Asuh Penting?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.