Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Banyak sekali sosok perempuan hebat di Indonesia yang memilih untuk berganti kewarganegaraan karena menganggap masih adanya jurang kesenjangan gender yang sangat dalam di Indonesia.
Sebut saja misalnya, seperti masih adanya pandangan bahwa perempuan seharusnya berada di dapur, di kasur, atau di sumur yang ditemui di masyarakat kita.
Adanya kesenjangan gender ini tentu dapat menghambat perkembangan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga akses pendidikan, kesempatan karir, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Hal inilah yang mendorong beberapa sosok perempuan berbakat dan berpotensi Indonesia untuk mencari kesempatan dan perlindungan di luar negeri. Dengan begitu, mereka berharap akan dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih bebas dan setara dengan laki-laki.
Selanjutnya, Supriadi juga menuturkan bahwa diskriminasi yang ia temui biasanya terjadi di daerah, terutama di daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa.
Hal ini juga menjadi faktor utama yang mendorong begitu banyaknya masyarakat di luar Pulau Jawa yang memutuskan untuk pindah kewarganegaraan.
Supriadi juga mengaku sudah mendapat tawaran untuk mengambil kewarganegaraan Amerika Serikat (USA), akan tetapi ia tak kunjung mengiyakan karena masih mempertimbangkannya.
Padahal ia sering sekali mendapat perlakuan rasis di negara sendiri, seperti ejekan "Dasar, Cina!"
Banyak juga orang yang memilih untuk berganti kewarganegaraan karena mereka merasa karyanya tidak dihargai di Indonesia. Itu artinya tak salah bila ada yang menyebut bahwa banyak orang berbakat Indonesia lebih memilih untuk berpindah kewarganegaraan.
Beberapa contoh karya temuan anak bangsa yang tidak begitu dihargai oleh negara, mulai dari kompor ramah lingkungan milik Muhammad Nurhada, bahan anti api dan panas dari singkong milik Randall Hartolaksono, hingga teknologi broadband yang menjadi cikal bakal lahirnya mobile 4G LTE milik Dr. Khoirul Anwar.
Seringnya ketika kita mengetahui ada anak bangsa yang menghasilkan temuan inovatif, kita hanya mengklaim bahwa mereka adalah orang Indonesia sama seperti kita.
Namun kita lupa untuk menghargai dan memberikan apresiasi pada mereka karena disibukkan dengan perdebatan kusir seperti adu argumen yang belum lama ini terjadi soal rumput JIS.
Lalu, ketika Dirjen Imigrasi Kemenkumham mengatakan ada 3.192 WNI dalam rentan waktu 2019-2022 yang pindah kewarganegaraan ke Singapura, mengapa kita harus kaget?
Bukankah hal ini semestinya sudah bisa diprediksi?
Ketika sudah berpindah kewarganegaraan, orang-orang berbakat ini akan cenderung memilih enggan untuk pulang dan kembali pindah kewarganegaraan Indonesia. Sebab, banyaknya aturan yang terlalu njlimet dan membingungkan.
Jika ingin contoh lain, kita bisa membuka sejarah negara kita dan mundur jauh ke belakang. Terdapat 134 eksil korban peristiwa 1965 di luar negeri yang tidak dapat pulang dan kembali ke Indonesia.
Orang-orang yang bisa dikatakan hebat ini malah dicap sebagai “pengkhianat negara” hanya karena perbedaan pilihan politik pada masa itu.
Maka dari itu, akan sangat naif bila kita mengatakan bahwa mereka yang memutuskan pindah kewarganegaraan hanya karena uang atau faktor ekonomi.
Seorang aktris sekaligus politisi Indonesia, Kirana Larasati, pernah menulis sebuah artikel tentang fenomena pindah kewarganegaraan ini di Deutsche Welle.
Di dalam artikelnya, Ia menggunakan analogi bahwa Indonesia seperti sebuah keluarga. Ketika terjadi masalah dalam keluarga kita, apakah kita harus mencari keluarga baru?