Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernyataan Presiden RI Joko Widodo membuka kebobobrokan negeri ini sejak kata stunting menghiasi dan muncul di umbul-umbul pusat kesehatan, buku ibu-anak, berita, dan lain sebagainya.
Jokowi geram bukan main saat mengatakan dana penanganan stunting yang jumlahnya tidak sedikit itu malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tak berperasaan untuk keperluan di luar penanganan stunting.
Memangnya, apa itu stunting? Mengapa kata itu menjadi sebuah momok menakutkan?
Sangat disayangkan dan disesalkan karena setiap anak yang sejatinya memiliki hak dan dilindungi oleh konstitusi, harus menghadapi realitas bakal terkena dampak yang diakibatkan oleh tidak tercukupinya kebutuhan gizi.
Mengutip pernyataan WHO, sebenarnya faktor makanan yang tak bergizi bukan satu-satunya penyebab stunting. Di samping itu, stunting juga dapat diakibatkan oleh ibu hamil yang mengalami anemia.
Ketika gizi yang tak cukup, pola pengasuhan yang apa adanya dan kurangnya edukasi yang seharusnya disampaikan oleh pihak terkait, maka ledakan kasus stunting menjadi hal yang lumrah khususnya di negara-negara berkembang.
Vietnam misalnya. Saat ini Vietnam berhasil menjalankan program pengiriman relawan ke provinsi yang mengalami ledakan kasus stuntin. Relawan tersebut bertugas untuk memberikan edukasi dan bantuan makanan yang layak serta vitamin dan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat, khususnya ibu dan anak.
Di Indonesia, persoalan utama stunting adalah permasalahan yang kompleks. Persoalan stunting dapat bermula dari kemiskinan struktural yang dialami sebagian masyarakat.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan beberapa tindakan preventif. Misalnya saja, dinas kesehatan membuat program pemberian makanan dan mengerahkan nakes serta kader posyandu untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
Ada pula aktivitas khas pemerintah lainnya, seperti pemberian makanan penunjang berupa biskuit dan buah. Di samping itu, ibu hamil diberikan vitamin dan obat-obatan secara GRATIS melalui pusat kesehatan masyarakat atau Puskesmas di wilayah hingga tingkat kelurahan.
Beberapa upaya tersebut menjadi tolok ukur manakala usaha pemerintah yang telah menyediakan dukungan fiskal melalui APBN soal penyelesaian kasus Stunting di Indonesia berjalan.
Baik dari sisi belanja pemerintah pusat, maupun Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), sama-sama berusaha mengentaskan soal stunting walaupun dana yang sebenarnya dikucurkan masih belum transparan dari pusat hingga ke lingkup kecil.
Kendati demikian, program-program dan dukungan fiskal tersebut diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada 2025.
Target ini sebenarnya terus difokuskan seperti di tahun 2023 ini, seiring sindiran presiden soal dana stunting yang sebagian besar dipakai untuk rapat.
Sejatinya target tersebut bukan hal yang mustahil untuk dicapai, seperti halnya Vietnam yang berhasil menurunkan angka stunting dan dianggap berhasil.
Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Vietnam dalam penanganan stunting, dengan memikirkan dan membuat kebijakan yang memang tepat sasaran serta layak dicoba.
Maka, di mana sebenarnya titik permasalahan penanganan stunting di Indonesia ini?
Di beberapa parenting group yang ada di sosial media, beberapa ibu curhat soal pembagian jatah makan untuk menghindari stunting yang ternyata tak sesuai dengan apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
Menurut mereka, apa yang terjadi di lapangan adalah ada Puskesmas yang memberikan langsung biskuit sejumlah satu dus untuk ibu yang sebenarnya tidak masuk kategori merah rawan stunting. Ada juga Puskesmas yang tidak sama sekali memberikan makanan penunjang dengan alasan tidak ada stok.
Cerita lain juga menyebutkan bahwa ada ibu-ibu yang merasa makanan yang diberikan di Posyandu tidak cukup, sebab setiap bulan hanya diberikan satu bungkus biskuit dan potongan buah, serta snack bayi yang malah membuat batuk karena berminyak. Tidak cocok dengan usia bayi yang diberikan. Bahkan ada yang sampai tidak dapat sama sekali.
Melihat keluhan-keluhan ini, tentu sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan pemberitaan yang muncul soal anggaran pemerintah pusat untuk penanganan kasus stunting di Indonesia.
Akbatnya terjadi miskonsepsi di tengah masyarakat. Ada yang menganggap pemerintah belum dapat mengawasi apa yang terjadi di lapangan secara nyata lantaran kebijakan stunting yang belum kokoh.
Apalagi jika membahas aspek belanja pemerintah pusat. Bisa saja masyarakat berpikir apabila anggaran belanja pemerintah justru dikucurkan ke hal lain, seperti rapat dinas dalam menyelenggarakan kebijakan di wilayah terkait.
Padahal dana itu bisa dikucurkan ke hal yang lebih penting, seperti kualitas makanan yang juga memerhatikan sisi kuantitas dan kualitas. Selain juga pemberian makanan yang tepat sasaran, misalnya pemberian menu makanan dapat pula diberikan kepada bayi dalam indikator garis hijau namun menuju garis merah (rawan stunting).
Di samping itu, masyarakat sepertinya juga paham mengenai konsep anggaran pemerintah yang sengaja dialokasikan antara lain melalui pos belanja dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan subsidi.
Sayangnya, belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif dan bersifat transparan. Hal ini ketika dikonfirmasi kepada pihak Puskesmas saja, menyerahkan semuanya ke perangkat desa/kelurahan dan selepas itu tidak mendapat jawaban yang pasti.
Sementara dari sisi TKDD, jika melihat pemberitaan yang beredar serta berdasarkan situs resmi pemerintah, sebenarnya pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan stunting melalui Dana Alokasi Khusus yang memang ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah yang menjadi prioritas nasional, seperti wilayah timur Indonesia dengan kasus tertinggi stunting: Papua dan NTT.
Hal ini seharusnya juga berlaku bagi wilayah sekelas Ibu Kota Jakarta dan kota-wilayah kabupaten lainnya, karena belum sepenuhnya bebas kasus stunting.
Maka dari itu, sebaiknya program-program dan dukungan fiskal tersebut harus mulai dievaluasi dan diperhatikan lebih oleh pusat, karena bagaimanapun diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada tahun 2025.
Target tersebut tidak akan bersifat mustahil untuk dicapai apabila pemerintah pusat mampu transparan dan sanggup mengawasi aliran dana stunting hingga di tiap pusat kesehatan atau posyandu.
Di samping itu juga, penting untuk menambah jumlah kader/relawan muda dalam memberikan dukungan sosialisasi ke masyarakat. Hal ini bisa membantu menumbuhkan rasa idealis bagi kaum ibu agar tidak terpatok pada pola asuh yang apa adanya seperti ciri khas pengasuhan orangtua zaman dulu.
Selanjutnya, dukungan berupa ragam makanan bergizi yang layak dan dengan jumlah yang tidak sedikit juga perlu dipenuhi. Tentu hal ini juga harus diawasi oleh ahli kesehatan di bidangnya, seperti ahli gizi di pusat kesehatan agar tak ada kekeliruan.
Sebagai tindakan preventif dan vital, makanan yang diberikan sebagai bantuan pemerintah ini diharapkan dapat juga diberikan ke setiap masyarakat yang sedang hamil dan memiliki anak tanpa harus masuk kategori merah dan kategori masyarakat miskin. Faktanya, banyak kasus stunting justru terjadi pada orang tua yang tidak berkategori miskin.
Oleh sebab itu, stunting sudah seharusnya menjadi kasus yang tidak ada di Indonesia. Pemerintah pun dapat meniru keberhasilan negara tetangga dalam menangani kasus stunting.
Miskonsepsi terjadi apabila para pihak berwenang main-main dan dinilai tidak memiliki program yang tepat sasaran untuk wilayah-wilayah di Indonesia.
Adalah sebuah blunder apabila sampai mengeluarkan pernyataan bahwa status stunting yang sudah turun dan bukan lagi menjadi persoalan yang darurat.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Miskonsepsi Penanganan Stunting di Indonesia"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.