Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di tengah hiruk pikuk dan gonjang-ganjing era digital, ironisnya, masih ada 57 juta jiwa di Indonesia yang tidak kebagian akses internet. Survei APJII 2024 mengungkap kenyataan pahit ini.
Di saat kita sibuk dengan streaming video, bermain PUBG, Fortnite Battle Royale, Mobile Legends, seru-seruan di Free Fire, hingga sesekali berkelakar bahkan menghujat orang di media sosial, jutaan saudara kita masih terkungkung dalam keterbatasan informasi.
Setidaknya ada 12.548 desa dan kelurahan belum mendapatkan layanan internet alias blank spot, menurut keterangan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate.
Bahkan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional mencatat ada setidaknya 25.000 desa yang masih menjadi blank spot tanpa sinyal telekomunikasi. Akses internet bagaikan mimpi bagi mereka.
Alih-alih mewujudkan kecepatan internet tetap (fixed broadband) paling lambat 100 Mbps yang berbiaya tinggi, bukankah lebih bijak menjembatani kesenjangan digital yang menganga ini?
Wacana mewajibkan peningkatan kecepatan internet memang menarik, tapi perlu dikaji lebih dalam. Di tengah kesenjangan digital yang mendelongop, fokus utama saat ini seharusnya membangun akses internet yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukan berarti peningkatan kecepatan internet tidak penting. Namun, jika infrastruktur internet saja belum merata, memaksakan kecepatan tinggi hanya akan memperparah kesenjangan.
Membangun infrastruktur internet di desa-desa terpencil adalah langkah krusial untuk membuka gerbang informasi dan peluang bagi mereka. Kecepatan 20 Mbps yang menjangkau semua wilayah jauh lebih bermanfaat daripada 100 Mbps yang berbiaya tinggi dan hanya dinikmati segelintir orang.
Pemberdayaan dan literasi digital juga penting untuk memastikan internet digunakan secara optimal. Tapi tanpa akses internet, upaya ini bagaikan menabur benih di tanah tandus.
Pada Oktober 2023 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Pulau Runduma, sebuah pulau terluar di Kabupaten Wakatobi.
Pengalaman ini membuka mata saya terhadap realitas pendidikan di pelosok negeri, di mana akses internet dan listrik masih menjadi mimpi.
Guru-guru di Pulau Runduma berjuang tanpa akses informasi dan teknologi yang memadai. Di saat guru-guru di kota dengan mudahnya mencari referensi di internet, guru-guru di Runduma harus berkreasi dengan keterbatasan.
Ironisnya, tekanan dan beban yang mereka alami sama. Kurikulum Merdeka, dengan fokus pada pembelajaran mandiri dan eksplorasi, menjadi tantangan berat di tengah keterbatasan infrastruktur.
Kisah Pulau Runduma bukan hanya tentang pendidikan yang tertinggal, tetapi juga potensi ekonomi yang tersembunyi.
Adalah Dea Saraswati, salah satu tim ekonomi kreatif Village Development Expediton yang diinisiasi oleh Barakati Indonesia ini, melihat potensi wisata yang luar biasa di pulau ini.