Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kondisi saat ini, sekitar 50-55% total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.
Apabila pemerintah ingin mendorong tingkat konsumsi, tentu menjadi tantangan yang sangat berat di tengah tekanan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Indonesia memerlukan mesin pendorong yang lebih kuat agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang eksponensial. Pendirian Danantara merupakan salah satu upaya solusi pemerintah terutama dalam hal mendorong pertumbuhan investasi di tanah air.
Investasi juga diharapkan memberi multiplier effect bagi peningkatan komponen lain agar pertumbuhan ekonomi 8% bisa terwujud.
Seberapa besar pengaruh keberadaan SWF?
Mari kita lihat kinerja SWF yang paling dekat dengan Indonesia, yaitu Temasek Holdings (Singapura) dan Khazanah Nasional Berhad (Malaysia).
Berdasarkan informasi dari website resmi keduanya, rata-rata imbal hasil (return) investasi sekitar 6% per tahun. Imbal hasil itu diperoleh dari kenaikan nilai ekuitas atas perusahaan-perusahaan yang dikelola Temasek dan Khazanah.
Secara persentase bukan angka yang terlalu besar, apalagi jika dibandingkan dengan yield obligasi emerging market.
Namun, kinerja SWF tidak hanya dilihat dari perolehan return-nya saja, karena selain investasi ekuitas sejatinya SWF sekaligus superholding juga berperan untuk menarik arus modal global ke dalam negeri.
Misalnya, Indonesia mencanangkan proyek kereta api lintas Kalimantan senilai 20 miliar AS atau sekitar 320 triliun rupiah. Tentu berat jika harus menggunakan APBN. Jika swasta semua, tentu para investor melihat risikonya sangat besar, apalagi pengembaliannya lama.
Oleh karena itu, Danantara diperlukan untuk meracik 'deal' yang menarik sehingga pemerintah dan swasta dapat sama-sama berkontribusi mewujudkan proyek tersebut.
Perumpaan teknisnya bisa dilakukan dengan membentuk PT Borneo Railway, lalu saham disetor bersama Danantara, investor swasta nasional, dan investor swasta internasional.
Terwujudnya proyek tersebut akan membuka lapangan kerja baru, penjualan bahan bangunan, material besi, jalur perdagangan barang yang lebih efisien, pariwisata yang meningkat, dan lain-lain. Multiplier effect-nya pada ekonomi akan sangat besar.
Meskipun di sisi lain, keterlibatan investor global akan membuat nuansa kapitalisme mau tidak mau semakin kental. Hitung-hitungan solvabilitas dan profitabilitas harus jelas meskipun terkadang berdampak pada biaya yang dikenakan ke masyarakat menjadi lebih besar.
Danantara harus cermat memperhatikan aspek ini. Kombinasi antara investasi di dalam negeri dan ekuitas di luar negeri menjadi strategi yang menarik sekaligus menantang.
Kebijakan investasi dan proyek strategis harus direncanakan dengan lebih matang, pemerintah tidak bisa asal jadi atau "main-main" karena ada keterlibatan investor global di situ.
Jika investasi atau proyek tersebut gagal atau ada korupsi, nama Indonesia di mata internasional akan tercoreng. Ini akan menjadi pertaruhan besar masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, pemilihan manajemen Danantara nantinya harus benar-benar profesional, orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas di level internasional.
Jika jajaran manajemen diisi oleh oligarki atau kental unsur politik, maka masyarakat Indonesia patut khawatir, SWF bisa menjadi bom waktu jika tidak dikelola dengan baik. Indonesia, seharusnya tidak kekurangan profesional dan talenta-talenta terbaik di berbagai bidang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya