Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Klaim ini tentu mengundang pertanyaan besar. Apakah benar Indonesia menetapkan tarif sebesar itu untuk produk AS?
Ternyata, angka 64% tersebut bukanlah tarif impor dalam arti sebenarnya. Berdasarkan penjelasan lanjutan dari pemerintah AS, angka itu berasal dari perbandingan defisit perdagangan Indonesia dengan AS.
Departemen Perdagangan AS mencatat bahwa mereka mengimpor barang senilai 28,1 miliar dolar dari Indonesia, sementara ekspor mereka ke Indonesia hanya 10,2 miliar dolar.
Selisih antara keduanya---yakni defisit sebesar 17,9 miliar dolar---dibagi dengan nilai impor dari Indonesia (28,1 miliar dolar), menghasilkan angka 64%.
Rasio tersebut kemudian dikalikan dengan angka arbitrer, yang entah dasarnya apa, sebesar 50% untuk "menentukan" besaran tarif balasan. Hasil akhirnya: tarif impor sebesar 32% untuk barang Indonesia yang masuk ke pasar AS.
Hitung-hitungan tersebut dasarnya dari mana? Berdasarkan teori apa?
Tidak ada! Perhitungan semacam ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi manapun, dan tidak memiliki dasar logis sebagai acuan kebijakan perdagangan. Ia bahkan tidak mengacu pada struktur tarif aktual, struktur biaya produksi, atau kerangka World Trade Organization (WTO).
Tidak heran jika banyak ekonom terkemuka langsung menyampaikan kritik tajam. Gregory Mankiw, Professor dari Harvard University menyebut kebijakan tarif Trump sebagai malpraktik ekonomi.
Jeffrey Sachs, Professor dari Columbia University bahkan menilai kebijakan ini berbahaya karena menjauhkan AS dari sistem perdagangan berbasis aturan. Dari dalam negeri Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pendekatan ini tidak sesuai dengan logika ekonomi global.
Ironisnya, ini semua datang dari AS---negara yang selama puluhan tahun memposisikan diri sebagai penjaga sistem perdagangan bebas dan pusat keuangan dunia.
Kini, mereka justru mengandalkan metode perhitungan tarif yang tidak didukung oleh teori ekonomi manapun, tetapi berpotensi menimbulkan gejolak besar bagi ekonomi global.
Hanya Melihat Sebagian
Hal kedua yang menjadi sorotan pelaku pasar dan pengamat ekonomi adalah pendekatan sempit yang diambil oleh Presiden Trump dalam kebijakan tarifnya.
Dalam berbagai pernyataan dan kebijakan ekonominya, Trump sangat berfokus pada perdagangan barang (goods trade)---khususnya produk-produk seperti baja, aluminium, dan otomotif.
Di periode keduanya ini, Trump kembali membawa slogan yang sudah familiar sejak 2016: America First! dan Make America Great Again (MAGA).
Melalui kerangka Trumponomics yang cenderung proteksionis, tujuan utamanya semakin diperjelas: memangkas defisit neraca perdagangan dan mendorong kembali industri manufaktur AS.
Namun pendekatannya dalam konteks kebijakan tarif kali ini terlalu sempit. Ia cenderung hanya melihat angka defisit dari sisi barang, tanpa mempertimbangkan bagaimana struktur ekonomi multilateral bekerja dalam sistem global.
Secara sederhana, defisit perdagangan barang AS memang besar. Amerika lebih banyak mengimpor barang dibanding mengekspor---lebih banyak membeli dari negara lain daripada memproduksi sendiri.
Mengapa itu terjadi? Bukankah AS dikenal sebagai negara kaya dengan teknologi tinggi?
Jawabannya terletak pada struktur bisnis internasional. Di era globalisasi, banyak perusahaan raksasa asal AS---seperti Apple, Amazon, Nike, Ford, hingga Dell---telah memindahkan fasilitas produksi utama mereka ke berbagai negara dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah, seperti China, Meksiko, Vietnam, India, dan tentu saja Indonesia.
Ambil contoh Nike, yang sebagian besar produksinya dilakukan di Vietnam dan Indonesia. Sebagian sepatu yang telah diproduksi itu kemudian dikirim kembali ke pasar AS dan dicatat sebagai barang impor dari Vietnam dan Indonesia. Sebagian lain langsung didistribusikan dan dipasarkan ke berbagai negara.