Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Padahal, perusahaan induk Nike tetap bermarkas di Oregon, AS. Bagaimana dengan keuntungan penjualannya secara global? Sebagian besar keuntungan dari proses itu tetap masuk ke Nike pusat, membayar pajak di AS, dan memberi manfaat pada pemegang saham di AS.
Trump tampaknya memilih untuk tidak melihat realitas ini. Atau ia memang sengaja mengabaikan fakta bahwa dalam sistem perdagangan modern, rantai pasok bersifat lintas batas dan saling terintegrasi.
Lebih jauh lagi, ada satu sektor penting yang hampir sepenuhnya luput dari perhatian: sektor jasa (services trade).
Amerika Serikat justru mencatat surplus besar dalam perdagangan jasa. AS adalah pelaku utama jasa di level global seperti hukum, teknologi informasi, konsultansi, keuangan, dan pendidikan.
Konsumennya dari seluruh dunia dan sebagian besar transaksi tentu menggunakan dolar AS.
Surplus jasa ini selama bertahun-tahun menjadi penopang neraca berjalan AS. Tapi dalam retorika Trump, sektor ini seakan tidak pernah disebut. Kondisi yang ditekankan hanya angka defisit perdagangan barang, seolah itu satu-satunya ukuran kesehatan ekonomi AS.
Bayang-bayang Depresi
Pengenaan tarif tinggi ke berbagai negara ini membangkitkan memori kelam di ekonomi global. Pada tahun 1930, pemerintahan Amerika Serikat mengesahkan Smoot-Hawley Act, sebuah undang-undang yang menaikkan tarif lebih dari 20.000 barang impor.
Hal itu dilakukan untuk melindungi industri domestik AS di tengah Great Depression, salah satu krisis keuangan paling dahsyat yang terjadi akibat ketidakseimbangan keuangan global pasca World War I dan spekulasi di pasar keuangan AS.
Alih-alih memulihkan ekonomi, kebijakan proteksionis itu ternyata malah memperdalam depresi. Negara-negara lain membalas dengan tarif tinggi, mengakibatkan perdagangan internasional menurun drastis. Volume perdagangan global jatuh hampir 60%.
Rantai produksi terganggu, permintaan melemah, dan akhirnya banyak pabrik tutup, pengangguran melonjak, kredit macet di mana-mana, hingga sistem perbankan mulai runtuh.
Krisis ekonomi itu berlangsung dari 1929 hingga 1933, dan tercatat sebagai salah satu periode tergelap dalam sejarah ekonomi modern.
Dunia tentu tidak sedang dalam kondisi sama persis seperti 1930, tapi sejarah memberi sinyal kuat bahwa kebijakan proteksionisme ekstrem-apalagi secara unilateral-bukan tanpa risiko. Jika AS terus mendorong dunia ke dalam perang dagang yang semakin dalam, efek buruknya bisa menciptakan ketidakpastian besar dalam perekonomian global.
Peringatan pun berdatangan dari berbagai penjuru. Para investor kawakan seperti Bill Ackman dan Mark Cuban menyebut langkah tarif Trump sebagai sebuah kesalahan yang berpotensi semakin meningkatkan ketidakpastian ekonomi dunia.
Jamie Dimon, CEO JP Morgan Chase, bahkan menyampaikan bahwa sejumlah klien internasional mulai memindahkan aset dan transaksi ke bank-bank lokal akibat meningkatnya sentimen anti-Amerika.
Selain itu, Goldman Sachs memperkirakan kemungkinan resesi di AS naik menjadi 45% jika tensi dagang terus berlanjut.
Sementara JP Morgan memberikan proyeksi lebih serius: potensi resesi global meningkat menjadi 60% dalam tahun ini, dipicu oleh kebijakan tarif yang bersifat disruptif.
Trumponomics memang sedang menggebrak dan menantang dunia dengan lantang. Tapi dunia juga punya pilihan untuk merespons dengan kepala dingin, argumentasi yang rasional, dan langkah-langkah strategis.
Jika bisa melewati semua tekanan dengan baik, bukan tidak mungkin gejolak ini justru menjadi awal dari babak baru ekonomi global yang lebih adaptif dan inklusif.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Trumponomics: Ketika Amerika Menantang Seluruh Dunia"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.