Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pragmatisme Donald Trump memimpin Amerika Serikat tampaknya mulai terlihat dari kebijakan-kebijakan ekonomi seperti Tarif Trump.
Mengutip ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Saresehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, Selasa (06/04/2025), kemarin.
Kebijakan pengenaan tarif resiprokal Trump terhadap 60 negara di seluruh dunia purely transactional hanya sekadar untuk menutup defisit anggaran negeri adi daya tersebut, yang dalam kacamata Trump bersama para sekondannya akibat defisit perdagangan yang terus berlangsung selama ini.
"Jadi ini sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi. Yang penting pokoknya tarif duluan. Karena tujuannya menutup defisit. Tidak ada ilmu ekonominya di situ," kata Sri Mulyani.
Secara sederhana defisit perdagangan merupakan cerminan dari peribahasa "Besar Pasak Daripada Tiang". Keinginan tinggi, tapi dalam saat bersamaan kemampuan untuk memproduksi rendah.
Dalam pandangan Trump, seperti yang saya sarikan dari berbagai sumber informasi yang saya dapatkan, karena defisit perdagangan berlangsung terus menerus, akibatnya melemahkan industri manufaktur di AS dan membuat rantai pasok industri pertahanan menjadi terlalu tergantung pada negara lain.
Lantaran kondisi ini dianggap ancaman, harus ada kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah AS, dengan gaya Trump yang realis, penuh pragmatisme, pendekatan yang dilakukannya sederhana dan mudah diimplementasikan, maka lahirlah kebijakan resiprocal tariff.
Istilah teknis yang berarti tarif imbal balik, apabila kalian kenakan bea masuk terhadap kami, maka kami akan melakukan hal yang sama terhadap kalian.
Arah dari kebijakan ini cukup simpel saja sebenarnya, menyeimbangkan neraca perdagangan atau paling tidak mengurangi defisit perdagangan seperti selama ini berlangsung.
Karena perdagangan global tak ada di ruang hampa dan tidak bersifat searah, tentu saja kebijakan tarif Trump tersebut akan direspon beragam oleh negara-negara counterpartnya, mulai dari retaliasi hingga mengajak berunding ulang.
Apa yang kemudian terjadi adalah menimbulkan perasaan was-was pelaku ekonomi dan pemimpin dunia lainnya, karena kekhawatiran menimbulkan ketidakpastian maka bergejolaklah tatanan ekonomi global, pasar keuangan pusing tujuh keliling, bursa saham di seluruh dunia longsor, dan perang dagang dirasakan sudah di depan mata, ujungnya muncul ketakutan, dampaknya akan menghantam ekonomi global secara telak.
Pertanyaannya kemudian, apakah perihal defisit perdagangan lahir hanya dari neraca perdagangan yang timpang saja?
Ekonom senior Chatib Basri berpendapat, bahwa defisit perdagangan tak semata tentang timpangnya neraca perdagangan, tapi merupakan produk akhir dari banyak hal, mulai dari urusan produktivitas, kuantitas dan kualitas sumber daya domestik, hingga cara Pemerintah dalam mengelola kebijakan fiskal.
Nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor yang kemudian melahirkan defisit perdagangan, bisa terjadi, jika sebuah negara tak memiliki sumber daya domestik yang cukup untuk membiayai kebutuhan investasinya, akibatnya kapasitas mereka untuk menghasilkan produk lebih kecil dari kebutuhan domestiknya.
Untuk mengatasinya, Chatib Basri menekankan pada empat opsi yang mungkin bisa dilakukan, opsi pertama, dengan menaikan tabungan nasional dengan cara mengurangi defisit anggaran.
Opsi kedua, menurunkan permintaan domestik, dengan cara menaikan suku bunga agar belanja masyarakat melambat dan investasi turun atau dengan memotong anggaran pemerintah.
Opsi ketiga, menaikan produktivitas dengan cara menurunkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio), dengan sumber daya yang sama menghasilkan produk yang lebih banyak.Dan opsi terakhir, mengkombinasikan ketiga opsi tersebut
Namun, kebijakan yang didasari oleh teori-teori ekonomi njlimet seperti itu tak berlaku bagi Donald Trump, tindakan yang dilakukannya simpel saja berdasarkan logika sederhana, tetapkan saja tarif resiprokal, semuanya beres.
Dengan kekuatan AS sebagai negara adi daya di hampir setiap sektor, ia yakin "dunia" akan termehek-mehek, dan meminta waktu untuk berdialog dengannya.
Bagi Trump, ekonomi adalah senjata, dan politik adalah tujuannya. Ia mengubah aturan main hubungan internasional, termasuk pandangan soal moralitas Barat dan imperialisme liberal.
Watkins menilai, di balik retorika bombastis Trump tentang tarif, terdapat kalkulasi yang cermat dan tindakan yang terukur. Berbeda dengan Obama dan Biden yang cenderung berhati-hati dan konsisten antara ucapan dan tindakan.
Trump adalah seorang pebisnis yang percaya bahwa perdagangan dapat menciptakan perdamaian, sejalan dengan keyakinan Montesqueieu tentang doux commerce.
Pragmatisme Trump seolah menegaskan bahwa ideologi-ideologi lama, seperti kapitalisme vs sosialisme, liberalisme vs komunisme, bahkan demokrasi liberal/neoliberalisme vs populisme, sudah kehilangan relevansinya.
Dalam konteks ini, konsep "global economy reordering" menjadi relevan. Konsep penataan ulang ekonomi global yang dirancang untuk menguntungkan elite AS, menunjukkan bahwa kebijakan Trump bukanlah sekadar respons reaktif terhadap defisit perdagangan, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar dan terencana.
Watkins melihat adanya ambisi untuk mengubah secara fundamental aturan dan dinamika perdagangan internasional yang telah lama mapan.
Ini bukanlah sekadar penyesuaian kecil, melainkan sebuah perombakan besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan dominasi ekonomi AS di panggung dunia, terutama bagi elite ekonominya.
Sebagai analogi, kita bayangkan "huru hara" ini sebagai sebuah permainan catur yang telah berlangsung selama beberapa dekade, di mana AS telah menetapkan aturan dan menjadi wasitnya.
Namun, kini muncul pemain-pemain baru yang kuat, terutama China, yang mulai menantang dominasi AS.
Merasa terancam, AS di bawah kepemimpinan Trump memutuskan untuk "menggulingkan papan catur" dan menuntut dimulainya kembali permainan dengan aturan yang baru.
Kebijakan tarif Trump adalah salah satu alat utama dalam upaya penataan ulang ini. Dengan mengenakan tarif tinggi pada barang-barang impor, AS berusaha untuk melindungi industri domestiknya, mengurangi defisit perdagangan, dan memaksa negara-negara lain untuk bernegosiasi ulang perjanjian perdagangan yang ada.
Ini adalah bentuk proteksionisme yang agresif, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang selama ini dijunjung tinggi oleh AS.
Namun, penataan ulang ini bukan hanya tentang ekonomi. Ini juga tentang geopolitik. AS menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan negara-negara lain agar tunduk pada kehendaknya.
Tujuan akhir dari penataan ulang ini adalah untuk menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih menguntungkan bagi AS, terutama bagi elite ekonominyaIn
Ini adalah upaya untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur AS, menahan laju kebangkitan China, dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia.
Namun, upaya ini bukannya tanpa risiko. Kebijakan tarif Trump telah memicu perang dagang dengan negara-negara lain, yang berpotensi merusak ekonomi global. Penataan ulang ini juga menciptakan ketidakpastian dan ketegangan geopolitik yang dapat mengancam stabilitas dunia.
Cara Trump menegur Eropa, menekan China sambil mendekati Rusia, dan pendekatannya yang transaksional di Timur Tengah, menunjukkan bahwa ia sedang membangun kembali kekuatan AS. Tarif adalah cara Trump memaksa negara lain untuk bernegosiasi.
Dan cara itu terbukti berhasil, kini banyak negara antri untuk bernegosiasi dan menurunkan tarif impor dari AS. Kepentingan ekonomi menjadi prioritas utama, seolah membenarkan tesis Marx bahwa relasi ekonomi (basis) menentukan corak relasi politik (suprastruktur).
Trump, seorang maestro dalam memainkan kartu ekonomi, sampai sejauh ini tampaknya berhasil dalam menjalankan strateginya.
Dari prespektif Susan Watkins ini, mau tidak mau kita harus bersiap menghadapi perubahan konstelasi ekonomi-politik global yang dramatis.
Dalam menyikapi situasi ini, Indonesia harus melihat kebijakan tarif Trump sebagai tantangan sekaligus peluang. Kita perlu menyatukan dimensi ekonomi dan politik dalam satu strategi yang komprehensif.
Pertama, kebijakan yang responsif, fleksibel, dan selaras dengan dinamika global. Jangan membuat kebijakan yang kontraproduktif dan keluar jalur, karena risikonya terlalu besar dan dapat berdampak sistemik.
Kedua, ciptakan kepastian hukum dan tata kelola yang baik untuk menarik investasi. Indonesia perlu meyakinkan investor bahwa berinvestasi di sini menguntungkan, aman, dan nyaman. Ini membutuhkan bukti nyata, mulai dari kualitas regulasi, implementasi yang konsisten, hingga pelayanan yang proaktif.
Ketiga, segera selesaikan hambatan bisnis yang dikeluhkan investor dan pelaku usaha. Ini membutuhkan kemauan politik yang kuat, karena akan berhadapan dengan kepentingan para pemburu rente.
Rezim perizinan/kuota impor yang rumit, pembatasan dengan dalih keberpihakan domestik seperti TKDN, SNI, sertifikasi, dan birokrasi yang kerap bekerja seperti hantu, harus segera dibenahi.
Kebijakan tarif resiprokal Donald Trump, mungkin saja hanya sebagai langkah pragmatis untuk mengatasi defisit perdagangan AS, tapi bukan tidak mungkin merupakan bagian dari strategi besar untuk menata ulang arsitektur ekonomi global.
Di balik retorika bombastis dan logika sederhana yang diusungnya, tersembunyi ambisi hegemoni AS yang didukung oleh elite ekonomi, yang siap mengguncang tatanan dunia demi keuntungan mereka sendiri.
Namun, di tengah badai ketidakpastian ini, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton pasif. Kita harus mampu membaca gelombang perubahan ini dengan cermat, menyatukan kekuatan ekonomi dan politik dalam satu strategi komprehensif.
Kebijakan yang responsif, kepastian hukum yang kokoh, dan iklim investasi yang kondusif harus menjadi fondasi utama. Kita harus mampu memangkas hambatan birokrasi, menepis praktik rente, dan membangun citra Indonesia sebagai mitra dagang yang kredibel dan menguntungkan.
Dalam setiap tantangan selalu berdampingan dengan peluang. Di tengah arus perubahan yang deras, Indonesia harus mampu berlayar dengan tangkas, memanfaatkan setiap celah untuk memperkuat ekonomi nasional dan memperkokoh posisinya di panggung global.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk membuktikan ketangguhannya, bukan hanya sebagai pemain, tetapi juga menjadi bagian dari penentu arah dalam arsitektur ekonomi dunia yang baru.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ada Apa di Balik Kebijakan Tarif Trump dan Tantangannya bagi Indonesia"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.