Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Indonesia Belum Serius Sikapi KDRT?"
Suatu hari di luar rumah terdengar suara bentakan dari seseorang yang mungkin berstatus sebagai bapak kepada anak perempuan di pinggir jalan.
Ketika saya melongokkan kepala untuk melihat apa yang terjadi, si anak perempuan tersebut menangis sambil berteriak. Kemudian dilanjutkan adegan sang bapak menempeleng lalu menendang punggung sang anak.
Tak lama si anak kemudian berlari sementara sang bapak berjalan menjauh dari rumah saya.
Ketika melihat adegan itu, darah saya serasa mendidih. Namun, saya sekaligus bingung harus berbuat apa. Paling tidak, pikir saya saya akan berusaha mencegah jika kekerasan berlanjut lebih parah.
Kejadian serupa sering kita dengar terjadi di Indonesia. Suami memukul istri, ibu menyiksa anak atau sebaliknya, istri menganiaya suami, atau bahkan anak yang melakukan kekerasan terhadap orangtuanya.
Ironisnya, kebanyakan orang Indonesia akan merasa enggan untuk ikut campur ketika mendengar atau mengetahui hal-hal semacam itu.
Hal ini seakan telah menjadi budaya bahwa kita seakan-akan membatasi urusan rumah tangga sebagai hal tertutup bagi orang luar.
Bahwa orangtua berhak memukul anaknya dengan alasan pendidikan disiplin dan budi pekerti. Istri harus tunduk pada perintah suami berikut sanksi yang mengikutinya.
Ketika kita mendengar teriakan histeris suami-istri yang bertengkar di sebelah rumah atau jerit tangis anak-anak tetangga yang memilukan hati, apakah kita mau dan berani untuk memeriksanya?
Mungkin kita takut dilabrak dengan tuduhan mencampuri urusan rumah tangga orang atau menganggu proses pendidikan anak mereka.
Kalau kita tidak bisa bertindak berdasarkan pandangan pribadi, apakah kita bisa mengharapkan pemerintah untuk turun tangan?
Indonesia sebenarnya punya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun pelaksanaannya terlihat kurang efektif.
Salah satu sebabnya adalah bahwa undang-undang tersebut hanya membolehkan pelaporan ke polisi dilakukan oleh si korban sendiri.
Orang lain atau keluarga, termasuk tetangga hanya dapat melapor jika memiliki surat kuasa (pasal 26). Meski memang di pasal 30 ada pengecualian, seperti misalnya si korban pingsan atau terancam nyawanya.