Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di Jerman, terdapat 20% kasus KDRT. Di New Zealand sendiri, 1 dari 4 lelaki melaporkan KDRT. Ketika saya mendengar tetangga rumah berkelahi, yang menelepon nomor darurat untuk melaporkan tindakan kekerasan adalah yang laki-laki.
Kisah-kisah inferioritas suami terhadap istri di Indonesia juga banyak, sering dijadikan guyonan malah. Kasus penganiayaan terhadap suami beberapa kali mencuat. Meskipun sebenarnya, KDRT bukan hanya tentang aniaya fisik melainkan juga siksaan psikis.
Banyak fakta menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami eskalasi jika dibiarkan. Dimulai dari kekerasan lisan, kemudian meningkat ke pemukulan hingga berlanjut pada penganiayaan yang jika tak terkendali bisa menyebabkan kematian.
Kita belum menghitung kekerasan seksual yang hampir tidak pernah dilaporkan dengan alasan tabu, malu, atau diterima sebagai kodrat.
Jika pun tidak menghilangkan nyawa, fakta juga menunjukkan bahwa pelaku kriminal kebanyakan dihasilkan dari KDRT yang dialaminya pada masa lalu. Kita mungkin tidak sadar kalau kerusakan mental itu justru sering terjadi di dalam rumah tangga.
Para pelanggar hukum dan psikopat diproduksi dari dalam keluarga, juga sebaliknya, termasuk manusia-manusia yang penakut, tidak kreatif, dan tidak percaya diri. Pada akhirnya mereka menjadi "beban" masyarakat generasi berikutnya.
Sayangnya, kita sebagai masyarakat belum bisa (atau tidak mau?) ikut campur lebih banyak dalam kasus KDRT terkait aturan perundang-undangan dan kultur sosial-budaya. Beberapa ajaran agama juga dijadikan tameng untuk pengesahan aksi KDRT.
Perlu ada payung hukum dan respons penegak hukum yang lebih memberi kesempatan bagi masyarakat untuk saling mengontrol satu sama lain.
Bahwa adalah juga hak setiap manusia untuk mengetahui, mengontrol, dan melaporkan peristiwa KDRT yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Sekaligus juga diharapkan respons cepat aparat penegak hukum ketika ada laporan yang diterima dari masyarakat.
Instansi sosial atau perlindungan perempuan dan anak harus menjadi aparatur terdepan sebagai tempat aduan, konseling, dan penindakan KDRT.
Lagi-lagi seperti di negara maju, sanksi terhadap tindakan KDRT harus lebih tegas dan "menakutkan" sehingga akan membawa efek jera yang mengantar pada pencegahan kejadian serupa. Misalnya seperti penarikan hak asuh anak dari orang tua atau pidana bagi individu yang melakukan KDRT.
Memang negara kita bukanlah negara maju, akan tetapi belajar dan menerapkan sesuatu yang baik bisa dari mana saja, kan?
Hal-hal yang baik dari kultur lain kenapa kita tolak demi membenarkan perilaku kita yang belum tentu dihasilkan kultur kita sendiri?
Jika hukum dan respons pihak berwenang meningkat lebih baik, setiap keluarga akan takut melakukan KDRT.
Pelaku takut dilaporkan masyarakat karena laporan masyarakat cepat direspons pihak berwenang dan bisa berujung pada sanksi hukum.
Semoga pada masa mendatang, masyarakat Indonesia bisa menyikapi KDRT dengan lebih serius lagi. Seperti kata presiden bahwa negara memang harus hadir.
Siapa lagi yang mengurusi rakyat jika bukan pemerintahnya? Bukankah untuk alasan itu pemerintah ada?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.