Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergman Siahaan
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Bergman Siahaan adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Belum Seriusnya Indonesia Tangani Kasus KDRT

Kompas.com - 21/10/2022, 12:47 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Di Jerman, terdapat 20% kasus KDRT. Di New Zealand sendiri, 1 dari 4 lelaki melaporkan KDRT. Ketika saya mendengar tetangga rumah berkelahi, yang menelepon nomor darurat untuk melaporkan tindakan kekerasan adalah yang laki-laki.

Kisah-kisah inferioritas suami terhadap istri di Indonesia juga banyak, sering dijadikan guyonan malah. Kasus penganiayaan terhadap suami beberapa kali mencuat. Meskipun sebenarnya, KDRT bukan hanya tentang aniaya fisik melainkan juga siksaan psikis.

Dampak KDRT

Banyak fakta menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami eskalasi jika dibiarkan. Dimulai dari kekerasan lisan, kemudian meningkat ke pemukulan hingga berlanjut pada penganiayaan yang jika tak terkendali bisa menyebabkan kematian.

Kita belum menghitung kekerasan seksual yang hampir tidak pernah dilaporkan dengan alasan tabu, malu, atau diterima sebagai kodrat.

Jika pun tidak menghilangkan nyawa, fakta juga menunjukkan bahwa pelaku kriminal kebanyakan dihasilkan dari KDRT yang dialaminya pada masa lalu. Kita mungkin tidak sadar kalau kerusakan mental itu justru sering terjadi di dalam rumah tangga.

Para pelanggar hukum dan psikopat diproduksi dari dalam keluarga, juga sebaliknya, termasuk manusia-manusia yang penakut, tidak kreatif, dan tidak percaya diri. Pada akhirnya mereka menjadi "beban" masyarakat generasi berikutnya.

Sayangnya, kita sebagai masyarakat belum bisa (atau tidak mau?) ikut campur lebih banyak dalam kasus KDRT terkait aturan perundang-undangan dan kultur sosial-budaya. Beberapa ajaran agama juga dijadikan tameng untuk pengesahan aksi KDRT.

Negara Harus Hadir

Perlu ada payung hukum dan respons penegak hukum yang lebih memberi kesempatan bagi masyarakat untuk saling mengontrol satu sama lain.

Bahwa adalah juga hak setiap manusia untuk mengetahui, mengontrol, dan melaporkan peristiwa KDRT yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Sekaligus juga diharapkan respons cepat aparat penegak hukum ketika ada laporan yang diterima dari masyarakat.

Instansi sosial atau perlindungan perempuan dan anak harus menjadi aparatur terdepan sebagai tempat aduan, konseling, dan penindakan KDRT.

Lagi-lagi seperti di negara maju, sanksi terhadap tindakan KDRT harus lebih tegas dan "menakutkan" sehingga akan membawa efek jera yang mengantar pada pencegahan kejadian serupa. Misalnya seperti penarikan hak asuh anak dari orang tua atau pidana bagi individu yang melakukan KDRT.

Memang negara kita bukanlah negara maju, akan tetapi belajar dan menerapkan sesuatu yang baik bisa dari mana saja, kan?

Hal-hal yang baik dari kultur lain kenapa kita tolak demi membenarkan perilaku kita yang belum tentu dihasilkan kultur kita sendiri?

Jika hukum dan respons pihak berwenang meningkat lebih baik, setiap keluarga akan takut melakukan KDRT.

Pelaku takut dilaporkan masyarakat karena laporan masyarakat cepat direspons pihak berwenang dan bisa berujung pada sanksi hukum.

Semoga pada masa mendatang, masyarakat Indonesia bisa menyikapi KDRT dengan lebih serius lagi. Seperti kata presiden bahwa negara memang harus hadir.

Siapa lagi yang mengurusi rakyat jika bukan pemerintahnya? Bukankah untuk alasan itu pemerintah ada?

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Perjalanan Seorang Ibu Tunggal: Tiga Anak, Satu Pelukan
Perjalanan Seorang Ibu Tunggal: Tiga Anak, Satu Pelukan
Kata Netizen
5 Cara Menikmati Macet a la 'Working Mom'
5 Cara Menikmati Macet a la "Working Mom"
Kata Netizen
Kebaikan Kecil yang Saya Temukan di Trans Jogja
Kebaikan Kecil yang Saya Temukan di Trans Jogja
Kata Netizen
Bukan Sekadar Angka Timbangan, Diet Itu tentang Perjalanan
Bukan Sekadar Angka Timbangan, Diet Itu tentang Perjalanan
Kata Netizen
Bagi Pasutri, Perhatikan Ini untuk Tetap Bisa Menafkahi Orangtua
Bagi Pasutri, Perhatikan Ini untuk Tetap Bisa Menafkahi Orangtua
Kata Netizen
Belajar Memanen Hujan lewat Joglangan
Belajar Memanen Hujan lewat Joglangan
Kata Netizen
Hilir ke Hulu Hijaunya Alam Kampung Karuhun, Sumedang Selatan
Hilir ke Hulu Hijaunya Alam Kampung Karuhun, Sumedang Selatan
Kata Netizen
Bagaimana Meyakinkan Keluarga tentang Asuransi?
Bagaimana Meyakinkan Keluarga tentang Asuransi?
Kata Netizen
Bisakah Memanen Hujan di Apartemen?
Bisakah Memanen Hujan di Apartemen?
Kata Netizen
Trik 'Receh' di Transportasi Umum yang Bikin Kamu Nyaman
Trik "Receh" di Transportasi Umum yang Bikin Kamu Nyaman
Kata Netizen
Berkat Musik di Kafe dan Latte, Akhirnya Novelku Rampung Juga
Berkat Musik di Kafe dan Latte, Akhirnya Novelku Rampung Juga
Kata Netizen
7 Cara Anak Bekasi atasi 'Commuting Stress'
7 Cara Anak Bekasi atasi "Commuting Stress"
Kata Netizen
Tentang Royalti Lagu 'Indonesia Raya' dan Rilis Versi Lokananta
Tentang Royalti Lagu "Indonesia Raya" dan Rilis Versi Lokananta
Kata Netizen
Mencicip Segala 'Rasa Singkawang' di Krendang, Jakarta Barat
Mencicip Segala "Rasa Singkawang" di Krendang, Jakarta Barat
Kata Netizen
Siapa Masih Jadikan Hujan sebagai Alasan Bolos?
Siapa Masih Jadikan Hujan sebagai Alasan Bolos?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau