Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebagai manusia yang adalah makhluk sosial kita memang membutuhkan orang lain untuk berinteraksi.
Hal ini sudah kita pelajari sejak kita kecil. Kita selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam beberapa hal. Memang kodratnya sudah seperti itu.
Salah satu cara untuk tetap bersosialisasi dengan banyak orang di sela kesibukan yakni dengan mempergunakan media sosial.
Dengan media sosial kita bisa tetap terhubung dengan orang-orang lama bahkan bisa menambah kenalan orang-orang baru.
Bahkan sampai ada sebutan the power of social media untuk menunjukkan seberapa saktinya peran media sosial dalam sejumlah perubahan atau aksi pada sebuah negara.
Sebagian dari kita yang merasa media sosial adalah wadah di mana kita bisa update segala aktivitas, momen penting, bahkan meluapkan perasaan.
Tak sedikit pula, media sosial digunakan sebagai lapak sindir menyindir baik untuk orang yang ada dalam pertemanan media sosial sampai mengkritisi pemerintah.
Hal tersebut lumrah dilakukan jika masih masuk dalam kaidah kesopanan dan kepantasan.
Namun, siapakah yang berhak menilai itu atas apa yang menjadi kebebasan melakukan sesuatu di media sosial kita pribadi?
Rasanya tidak seru jika membahas sesuatu tanpa ada contoh kasus, ya?
Jadi begini, sampai hari ini, masih ada saja orang yang kerap mem-blowup masalah pribadi di media sosial mereka. Banyak kemungkinan yang muncul dari ide untuk membagikan masalah itu di media sosial.
Ada di antara mereka yang memang ingin mencari solusi, ada yang sekadar ingin meluapkan perasaan saja, ada pula yang memang mencari perhatian pada khalayak ramai atau seseorang yang secara dituju secara khusus.
Namun, kadang, maksudnya belum sampai tapi justru malah menimbulkan komentar publik yang menganggap isi unggahan kita sebagai sesuatu yang justru memalukan alias membuka aib sendiri.
Saya pernah memiliki teman yang kerap menceritakan masalah pribadinya, dalam hal ini berkaitan dengan rumah tangga.
Mulai dari menceritakan bagaimana ia menjadi sosok yang kuat menghadapi rumah tangganya, bagaimana ia bisa menanggapi tudingan kanan kiri ketika menikah dengan suaminya karena perbedaan usia yang cukup jauh, sampai ia yang harus menerima "serangan tak kasat mata" dari orang-orang yang tidak menyukai pernikahan mereka.