Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rika Salsabila Raya
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Rika Salsabila Raya adalah seorang yang berprofesi sebagai Jurnalis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Belum Optimalnya Kebijakan Penanganan Stunting di Indonesia

Kompas.com - 08/09/2023, 12:43 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Vietnam dalam penanganan stunting, dengan memikirkan dan membuat kebijakan yang memang tepat sasaran serta layak dicoba.

Maka, di mana sebenarnya titik permasalahan penanganan stunting di Indonesia ini?

Miskonsepsi Kebijakan Stunting

Di beberapa parenting group yang ada di sosial media, beberapa ibu curhat soal pembagian jatah makan untuk menghindari stunting yang ternyata tak sesuai dengan apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.

Menurut mereka, apa yang terjadi di lapangan adalah ada Puskesmas yang memberikan langsung biskuit sejumlah satu dus untuk ibu yang sebenarnya tidak masuk kategori merah rawan stunting. Ada juga Puskesmas yang tidak sama sekali memberikan makanan penunjang dengan alasan tidak ada stok.

Cerita lain juga menyebutkan bahwa ada ibu-ibu yang merasa makanan yang diberikan di Posyandu tidak cukup, sebab setiap bulan hanya diberikan satu bungkus biskuit dan potongan buah, serta snack bayi yang malah membuat batuk karena berminyak. Tidak cocok dengan usia bayi yang diberikan. Bahkan ada yang sampai tidak dapat sama sekali.

Melihat keluhan-keluhan ini, tentu sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan pemberitaan yang muncul soal anggaran pemerintah pusat untuk penanganan kasus stunting di Indonesia.

Akbatnya terjadi miskonsepsi di tengah masyarakat. Ada yang menganggap pemerintah belum dapat mengawasi apa yang terjadi di lapangan secara nyata lantaran kebijakan stunting yang belum kokoh.

Apalagi jika membahas aspek belanja pemerintah pusat. Bisa saja masyarakat berpikir apabila anggaran belanja pemerintah justru dikucurkan ke hal lain, seperti rapat dinas dalam menyelenggarakan kebijakan di wilayah terkait.

Padahal dana itu bisa dikucurkan ke hal yang lebih penting, seperti kualitas makanan yang juga memerhatikan sisi kuantitas dan kualitas. Selain juga pemberian makanan yang tepat sasaran, misalnya pemberian menu makanan dapat pula diberikan kepada bayi dalam indikator garis hijau namun menuju garis merah (rawan stunting).

Di samping itu, masyarakat sepertinya juga paham mengenai konsep anggaran pemerintah yang sengaja dialokasikan antara lain melalui pos belanja dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan subsidi.

Sayangnya, belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif dan bersifat transparan. Hal ini ketika dikonfirmasi kepada pihak Puskesmas saja, menyerahkan semuanya ke perangkat desa/kelurahan dan selepas itu tidak mendapat jawaban yang pasti.

Sementara dari sisi TKDD, jika melihat pemberitaan yang beredar serta berdasarkan situs resmi pemerintah, sebenarnya pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan stunting melalui Dana Alokasi Khusus yang memang ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah yang menjadi prioritas nasional, seperti wilayah timur Indonesia dengan kasus tertinggi stunting: Papua dan NTT.

Hal ini seharusnya juga berlaku bagi wilayah sekelas Ibu Kota Jakarta dan kota-wilayah kabupaten lainnya, karena belum sepenuhnya bebas kasus stunting.

Maka dari itu, sebaiknya program-program dan dukungan fiskal tersebut harus mulai dievaluasi dan diperhatikan lebih oleh pusat, karena bagaimanapun diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada tahun 2025.

Target tersebut tidak akan bersifat mustahil untuk dicapai apabila pemerintah pusat mampu transparan dan sanggup mengawasi aliran dana stunting hingga di tiap pusat kesehatan atau posyandu.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Menghadapi 'Ennui' dan Pallu Mara Tetap Istimewa
Menghadapi "Ennui" dan Pallu Mara Tetap Istimewa
Kata Netizen
Ketika Penderitaan Menjadi Viral, Empati atau Sensasi?
Ketika Penderitaan Menjadi Viral, Empati atau Sensasi?
Kata Netizen
Pengalaman Manis Mengunjungi Perpustakaan Freedom Institute
Pengalaman Manis Mengunjungi Perpustakaan Freedom Institute
Kata Netizen
Kenapa 'Kekerasan' Masih Menyelimuti Dunia Pendidikan?
Kenapa "Kekerasan" Masih Menyelimuti Dunia Pendidikan?
Kata Netizen
Clean Eating, Ketika Makanan Menjadi Bagian dari Proses Penyembuhan
Clean Eating, Ketika Makanan Menjadi Bagian dari Proses Penyembuhan
Kata Netizen
Ruang Sunyi yang Dibutuhkan Suami dan Cara Istri Memahaminya
Ruang Sunyi yang Dibutuhkan Suami dan Cara Istri Memahaminya
Kata Netizen
TKA Perdana Berjalan Lancar, Ini Evaluasi dan Tantangannya
TKA Perdana Berjalan Lancar, Ini Evaluasi dan Tantangannya
Kata Netizen
Cerita Dapur Kampung, Menu Mingguan dari Tanah Sendiri
Cerita Dapur Kampung, Menu Mingguan dari Tanah Sendiri
Kata Netizen
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Kata Netizen
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kata Netizen
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Kata Netizen
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau