Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mencontoh dan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Vietnam dalam penanganan stunting, dengan memikirkan dan membuat kebijakan yang memang tepat sasaran serta layak dicoba.
Maka, di mana sebenarnya titik permasalahan penanganan stunting di Indonesia ini?
Di beberapa parenting group yang ada di sosial media, beberapa ibu curhat soal pembagian jatah makan untuk menghindari stunting yang ternyata tak sesuai dengan apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
Menurut mereka, apa yang terjadi di lapangan adalah ada Puskesmas yang memberikan langsung biskuit sejumlah satu dus untuk ibu yang sebenarnya tidak masuk kategori merah rawan stunting. Ada juga Puskesmas yang tidak sama sekali memberikan makanan penunjang dengan alasan tidak ada stok.
Cerita lain juga menyebutkan bahwa ada ibu-ibu yang merasa makanan yang diberikan di Posyandu tidak cukup, sebab setiap bulan hanya diberikan satu bungkus biskuit dan potongan buah, serta snack bayi yang malah membuat batuk karena berminyak. Tidak cocok dengan usia bayi yang diberikan. Bahkan ada yang sampai tidak dapat sama sekali.
Melihat keluhan-keluhan ini, tentu sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan pemberitaan yang muncul soal anggaran pemerintah pusat untuk penanganan kasus stunting di Indonesia.
Akbatnya terjadi miskonsepsi di tengah masyarakat. Ada yang menganggap pemerintah belum dapat mengawasi apa yang terjadi di lapangan secara nyata lantaran kebijakan stunting yang belum kokoh.
Apalagi jika membahas aspek belanja pemerintah pusat. Bisa saja masyarakat berpikir apabila anggaran belanja pemerintah justru dikucurkan ke hal lain, seperti rapat dinas dalam menyelenggarakan kebijakan di wilayah terkait.
Padahal dana itu bisa dikucurkan ke hal yang lebih penting, seperti kualitas makanan yang juga memerhatikan sisi kuantitas dan kualitas. Selain juga pemberian makanan yang tepat sasaran, misalnya pemberian menu makanan dapat pula diberikan kepada bayi dalam indikator garis hijau namun menuju garis merah (rawan stunting).
Di samping itu, masyarakat sepertinya juga paham mengenai konsep anggaran pemerintah yang sengaja dialokasikan antara lain melalui pos belanja dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan subsidi.
Sayangnya, belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif dan bersifat transparan. Hal ini ketika dikonfirmasi kepada pihak Puskesmas saja, menyerahkan semuanya ke perangkat desa/kelurahan dan selepas itu tidak mendapat jawaban yang pasti.
Sementara dari sisi TKDD, jika melihat pemberitaan yang beredar serta berdasarkan situs resmi pemerintah, sebenarnya pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan stunting melalui Dana Alokasi Khusus yang memang ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah yang menjadi prioritas nasional, seperti wilayah timur Indonesia dengan kasus tertinggi stunting: Papua dan NTT.
Hal ini seharusnya juga berlaku bagi wilayah sekelas Ibu Kota Jakarta dan kota-wilayah kabupaten lainnya, karena belum sepenuhnya bebas kasus stunting.
Maka dari itu, sebaiknya program-program dan dukungan fiskal tersebut harus mulai dievaluasi dan diperhatikan lebih oleh pusat, karena bagaimanapun diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada tahun 2025.
Target tersebut tidak akan bersifat mustahil untuk dicapai apabila pemerintah pusat mampu transparan dan sanggup mengawasi aliran dana stunting hingga di tiap pusat kesehatan atau posyandu.